Sabtu, 28 April 2012

Bersama Doto Zaini Perjalanan Gerilya yang Paling Spektakuler

DI bawah langit sore,  di ujung ashar, akhir tahun 1979 rombongan itu meriang.  Persisnya mereka berada di segitiga kawasan Tangse-Bengga-Keumala. Matahari telah rebah ke barat. Keremangan mulai merayap di hutan lebat Krueng Bengga ketika rombongan pejuang yang dipimpin Wali Nanggroe Tengku Muhammad Hasan Di Tiro, baru saja selesai rehat shalat berjamaah. Bedil tentara Jakarta menyalak setelah posisi mereka di kunci. Rombongan terkepung. Dan penyergapan sudah dimulai.

Dan di sana, di hari paling genting 33 tahun lalu itu, juga ada dokter Zaini Abdullah, yang usai deklarasi kemerdekaan serta pembentukan kabinet Gerakan Aceh Merdeka  di Gunung Halimun 4 Desember 1976  menjabat Menteri Kesehatan, dengan serius mengungkit kisah dramatis itu di sebuah perbincangan panjang di sebuah malam, Rabu dua pekan lalu di mess kediamannya, Banda Aceh.

Kala itu, lelaki lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang meninggalkan pendidikan spesialisnya kebidanan dan penyakit kandungan tiga tahun sebelumnya baru saja mengakhiri pengabdian tugasnya sebagai dokter kabupaten  di Puskesmas Karang Baru, Kuala Simpang, Aceh Timur. Dia sudah  final memilih jalan perjuangan bersama Wali untuk merengkuh keadilan.

Mereka  menjalani hidup nomaden yang mendera fisik untuk sebuah harga diri tentang sebuah keyakinan bahwa keadilan dan kemakmuran bersama tidak akan pernah datang dengan harga gratis. Dan sepanjang perjalanannya selama hari-hari bersama rakyat, Wali bersama dan salah satu anak ideologinya, Zaini, mengatasi perangkap dan jebakan tentara. Tekanan Jakarta, kala itu, makin intens, makin keras dan makin meningkat operasinya untuk mengendus jejak para pejuang dengan target utama Wali dan elite pejuang yang bergabung dengannya. Tidak hanya mengerahkan pasukan besar, tentara juga menebar intel untuk mendeteksi lokasi keberadaan mereka.

“Kami harus menghapus jejak dan berjalan menyusuri sungai agar tak ada bekas tapak yang bisa dicium tentara. Kami berpindah dari satu kampung ke kampung lain. Perpindahan yang harus benar-benar bersih dari bau pengkhianatan penduduk dan satuan intel. Insya Allah tak ada yang berkhianat,” kata Zaini tentang perjalanan survivalnya selama empat tahun mengarungi hari-hari, pekan-pekan dan bulan-bulan yang sangat keras.

Zaini Abdullah, yang disapa Doto, Rabu malam, pekan kedua Maret lalu, ketika berbincang panjang dengan kami, ternyata masih jernih menyibak kenangan dan merinci peristiwa demi peristiwa perjalanan ketika menyelam keping hati rakyat Aceh. “Sore itu kami terjepit. Empat sisi dari pergerakan kami sudah dikunci,” tutur Doto. “Kritis.” Dia menambahkan satu kata yang menggetarkan ketika kenangan itu menjalar diingatannya.

Helikopter meraung di udara. Dari arah samping kiri, kanan, dan belakang tidak mungkin melakukan manuver ke luar.  “Kami sudah dalam jarak tembak. Dan ketika bedil meletus dan peluru menghambur kami hanya punya satu kesempatan merangsek ke depan,” katanya.

Hari itu, seperti dikenang Zaini, merupakan dasar berpijak untuk memperbaharui tekad guna menentukan hari depan perjuangan. Makna baru dari syahidnya beberapa pejuang yang dikemudian harinya disepakati pula bahwa asset utama gerakan, Wali Nanggroe Tengku Muhammad Hasan Ditiro harus diselamat dengan keluar dari perburuan tentara. Ini pilihan final dari beberapa pilihan dengan pertimbangan, the founding father dan ideolog serta mentor utama pejuang tidak harus korban. Karena perjuangan menuntut keadilan dengan ujungnya kemakmuran bagi Aceh masih panjang dan tak boleh padam di tengah jalan.

Keputusan itu diambil setelah rombongan besar itu survive setelah keluar dari blokade ke arah depan, ke Keumala. “Kami tertolong dari informasi yang spekulatif bahwa tentara yang dari arah depan bergerak terlambat. Dengan petunjuk pejuang yang hafal pergerakan militer kami bisa lolos,” kata Doto. “Secara strategi penyergapan, kami sudah selesai.”

Doto Zaini mengenang kejadian itu sebagai puncak perjalanan gerilya yang paling spektakuler setelah tiga tahun berpindah-pindah. Perpindahan, yang dikatakannya, untuk memilin tali kedekatan dengan rakyat. Perpindahan, yang juga untuk mengetahui denyut nadi kehidupan masyarakat marjinal yang dimiskinkan oleh sistem dan diterima secara tawakal sebagai kultur. “Saya melihat mereka miskin secara struktural. Dan kita harus mengeluarkan mereka dari kemiskinan ini dengan mengaktualkan sistem yang ada sekarang,” katanya.

Secara militer, saat itu,  Zaini mengatakan memang kalah. “Kami tak punya persenjataan modern selain bedil tua dan ideologi Aceh sebagai sebuah negara merdeka. Dengan senjata itu kami memenangkan perlawanan merebut hati mereka. Kami hidup dari keikhlasan berbagi dari mereka. Kami tahu mereka juga mempertaruhkan hidupnya untuk kami. Dan kami menangkap hasrat paling dalam dari jiwa mereka yang tertindas.”

Usai episode penyergapan Tangse itu, begitu Doto menyebut peristiwanya, diputuskan agar Wali keluar dari Aceh. Kondisinya tidak mungkin lagi bertahan di tengah tekanan yang makin ketat. Wali diselamatkan lewat pantai Jeunib ke Singapura. “Saya sendiri baru keluar, juga ke Singapura, bersama enam bulan kemudian secara estafet ke Medan terus ke Batubara dan dengan sebuah boat kecil bersama Zakaria Saman  terombang-ambing selama tiga hari tiga malam.”

Doto mengenang kejadian dengan manis sebagai pertaruhan hidup. Pertaruhan ketika mendarat di Singapura ia berbaur dengan pekerja India disebuah kawasan yang sedang dibangun, yang ia sendiri tidak pernah tahu nama lokasinya. Yang Doto tahu adalah mereka bisa lolos karena dianggap bagian dari pekerja bangunan. “Kita kan mirip dengan para pekerja itu yang kebanyakan warga India,” katanya dengan menyungging sekilas senyum kecil.

Dari lokasi itu Zaini estafet dengan taksi maupun bis menuju pusat kota Singapura dan membayar ongkos transportnya dengan lembaran dollar. “Itulah uang yang kami punya. Sopir dan kondektur senang karena kami tak mengharap kembaliannya,” tutur Doto tergelak.

Kisah penyergapan Tangse itu sangat historial. “Ada makna yang menyambung fase kehidupan saya sebagai seorang anak intelektual lulusan perguruan tinggi yang menggenggam status sosial tinggi sebagai dokter, kala itu, dibanding dengan nilai yang saya yakini tentang keadilan negeri,” katanya.

Kisah itu juga tercatat sebagai momentum peralihan perjuangan dari gerakan regional yang kemudian menjadi internasional. “Kami mendapat akses masuk ke banyak organisasi serupa di Eropa sana. Bahkan, Wali merambah untuk mempersatukan organisasi perjuangan serupa seperti Rohingya, Patani, Moro dan lain-lainnya dengan membentuk sebuah United Nation sendiri,” katanya.

Tak banyak di antara pejuang yang menyadarinya ketika katup yang menyumbat idealisme Wali terbuka dan menjadi lebih heroik lagi. Ketika suara menuntut keadilan ini bergerak ke bandul realisme yang rasional.

Memang, seperti dikatakan Doto ada kevakuman sepanjang Jakarta berhasil melakukan pendekatan sangat represif di lapangan dan mengupayakan langkah diplomatik dengan menekan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand untuk memulangkan pejuang yang menyingkir. “Dan kami yang mendapat perlindungan dan penempatan di banyak negara Eropa tak bisa berbuat banyak karena masih saling terpisah dan masih mencari pijakan guna mengatasi persoalan  hidup di tempat baru,” kata Doto.

Wali sendiri, usai menyingkir, sempat masuk lagi ke Amerika Serikat untuk kemudian ke Mozambik. “Kemudiannya berkumupul lagi dengan kami di Swedia. Dan di sana setelah sedikit mapan kami mulai menyusun langkah dan menerbitkan buletin propaganda  kecil-kecilan,” kata Zaini.

Banyak langkah besar yang kemudian menjadi monumental dan tercatat sangat brilian. “Ingat, ketika kami bisa duduk dalam perundingan yang diawasi tokoh hebat maupun bekas diplomat kawakan. Bahkan keikutsertaan Martii Ahtisari yang menghasil Mou-Helsinki, kini, menjadi rujukan untuk mendamaikan banyak konflik di dunia,” kata Doto. Dari semua aksi yang menyertai dinamika perjuangan itu ide dasar untuk mendapatkan pengakuan perjuangan keadilan tidak pernah surut apalagi mati.

“Jadi menyingkirnya sebagian dari pentolan pejuang ke luar adalah upaya menyelamat ideologi itu sendiri.  Saat itu intelektual pemikir kita satu-satu gugur. Sebut saja dr. Muchtar Hasbi, dr. Zubir dan banyak lagi,” kata Doto. “Dan kala itu kita ngotot mengambil sebuah keputusan bagaimana langkah perjuangan bisa berlanjut dan kelak akan menyerahkan tongkat estafet kepada generasi berikutnya,” kata Doto.

Insya Allah, Doto melanjutkan, keputusan usai penyergapan Krueng Bengga merupakan stasiun penyegaran untuk merancang langkah perjuangan lanjutan. “Saya mencatatkan peristiwa itu sangat spektakuler di tengah momentum yang sangat pas,” katanya.

***

Karang Baru awal tujuh puluhan. Seorang dokter muda dengan gairah semangat menyala mulai menjalani ritual pengabdian kemanusiaannya. Pilihan menjadi  doto manusia adalah pilihan bijak dari kesepakatan nuraninya. Pilihan yang bukan hanya bertumpu pada kehendak untuk bisa mempelajari anatomi tubuh tapi  juga untuk mempelajari manusianya sendiri.

Zaini mengatakan, pilihan menjadi dokter didasarkan pengalaman lingkungan ketika ia kanak-kanak dan remaja. Pengalaman di Bereueneun, 15 kilometer dari Sigli, tampat ia lahir pada 24 April 1940, yang sarana dan fasilitas kesehatannya harus merujuk ke kota kabupaten. Banyak kematian, yang seharusnya bisa diikhtiarkan penyembuhannya tapi harus menemukan kematian.

“Oya, saya seorang anak orang biasa. Ayah saya, Tengku Abdullah Hanafiah,  yang biasa kami panggil Abu, adalah orang yang meletakkan dasar berpikir rasional padahal beliau adalah seorang ulama dan teman seperjuangan Tengku Muhammad Daoed Bereueuh, bekas Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo,” kata Doto Zaini.

“Abu menyekolah ketiga anaknya ke sekolah umum seperti dua adik saya, Hasbi Abdullah, kini Ketua DPRA dan Muhammad Abdullah, dulu bekerja di Mobil Oil dan kini di Amerika Serikat.

Masyarakat, kala itu, dalam hal kesehatan hanya menerima takdir tanpa bisa berbuat banyak.” Ini, bagi Zaini, bagian ketidakadilan itu sendiri.

“Diare, campak, demam tinggi, ibu melahirkan adalah sumber kematian kala itu,” ujarnya. Ini penyakit kemiskinan. Untuk itu, selepas SMA di tahun 1963 Zaini memantapkan niat menjadi dokter manusia dan menamatkan pendidikannya di Fakultas Kedokteran USU 1972.

Di Karang Baru itu pula,  dokter muda ini, belajar kembali dan  bisa melayani masyarakat.  Dia memberi kesejukan. “Ketika rakyat sangat butuh pertolongan di tengah minimnya fasilitas kesehatan, saya memberi harapan. Sugesti,” katanya mengenang masa empat tahun-tahun praktek lapangannya di Kuala Simpang, Aceh Timur, kala itu.  Zaini mengenangnya dengan sangat pas sampai di hari perbincangan kami malam itu. Dia katakan,  tugasnya kala itu dimulai dengan habisnya botol cairan infus untuk menolong pasien  diare di Puskesmas Karang Baru. Lalu, Doto mencari jalan keluarnya. Dia menggantikan cairan infus dengan air kelapa.

“Kebetulan saja saya pernah mempelajari fungsi kandungan air kelapa dari sebuah jurnal kesehatan. Saya setengah berspekulasi untuk memanfaatkan pengetahuan itu secara langsung. Yang pasti, tak terbantahkan air kelapa bermanfaat untuk menjaga daya tahan tubuh. Banyak pasien yang terselamat dengan infus air kelapa itu,” kata Doto mengembangkan senyum tulusnya.

Di Karang Baru itu pula Doto banyak mencatat penyakit rakyat yang berasal dari tersumbatnya akses mereka ke jaminan kesehatan. Program Inpres yang dijalankan Doto waktu itu masih minim dari ketersediaan obat dan ketiadaan tenaga medis. Maklum, program datang dari atas dan dilaksanakan seragam. “Saya mencatatkan pengalaman ketika di Karang Baru itu dan membandingkannya dengan program di Swedia ketika saya jadi bagian tenaga medis di sana.”

Hasilnya? “Sebuah draft jaminan kesehatan saya serahkan kepada kawan-kawan untuk dibahas menjadi program unggulan pemerintahan di sini (Aceh),” kata Doto. Kemudian, draft itu menjadi keputusan dan disahkan sebagai bagian fiskal daerah. “Lewat pembiayaan yang rutin kita kini telah mendapat kemajuan. Belum sempurna benar, tapi sudah dirasakan manfaatnya. Dan masih memerlukan perbaikan di sana-sini. Tapi ada orang yang mengklaim  sebagai idenya dengan memasang foto diri pada setiap lembar kartunya. Terserah,” kata Doto.

Selama di Kuala Simpang, Zaini melakukan diversifikasi dengan program lokal dan terbatas untuk mengatasi hambatan pelayanan kesehatan. Ia memermak Puskesmas Karang Baru, yang dulunya milik sebuah usaha perkebunan, dan memfungsikan fasilitas dengan maksimal. “Kami punya alat rontgen dan peralatan bedah. Ini sudah termasuk sangat maju di masa itu,” katanya.

Usai pengabdian di Kuala Simpang, Zaini mendapat kesempatan melanjutkan studi spesialis ke Medan di Fakultas Kedokteran USU dan memilih kebidanan dan penyakit kandungan sebagai keilmuannya. Itu terjadi pada 1976, usai ia bertemu dengan Tengku Muhammad Hasan Ditiro yang setahun sebelumnya pulang ke Aceh dan memberikan tausiah tentang ideologi perjuangan.

Tausiah itu mengembalikan Zaini pada jati dirinya sebagai anak pejuang. Dan selama menuntut ilmu di Medan dalam ilmu spesialis ia melakukan diskusi dengan intensitas tinggi bersama dr. Muchtar Hasbi Geudong, dr. Zubir,  dr. Husaini dan kemudian bergabung pula Ir Asnawi, dan Amir SH.  “Diskusi itu mereka lakukan secara periodik dan sering di rumah saya di Sei Sikambing, Jalan Gaharu. Dari diskusi ini mengerucut pikiran kami untuk berjuang menuntut keadilan lewat perjuangan men-state-kan Aceh dan menempatkannya sebagai bagian dari nation,” kata Doto Zaini.

Hasil diskusi ini juga, mereka komparasikan dengan pemikiran Wali tentang status Aceh. “Ternyata sangat pas dengan apa yang ingin kita capai,” katanya. Dan, setelah ada kontak yang terus menerus dengan Wali, mereka memutuskan berangkat ke tanah indatu dengan naik gunung untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh.

Itu terjadi 4 Desember 1976 setelah Wali datang dari Amerika Serikat.

“Saya berangkat secara estafet dari Medan, terus ke Pangkalan Susu naik kapal motor kecil ke Peurelak dan terus ke Beuereuneun dan berkumpul di Gunung Halimun,” kata Doto Zaini. Dia sangat ingat, sebelum berangkat, putri sulungnya yang masih berusia enam tahun kalai itu tertimpa runtuhan tembok beton rumah sewaannya. Kakiknya patah. Rumah itu dikontrak selama tiga tahun dan baru terpakai satu tahun. ”Pemiliknya teman dari Kutacane dan sangat baik perilakunya.”

Di hutan gerliya, mereka mematangkan perjuangan, membagi tugas dan menegaskan bahwa perjuangan tidak boleh berhenti. “Walau pun generasi kami sudah tidak ada,” katanya. Ini sebuah komitmen. Komitmen ketika hari-hari Wali selama di hutan menulis-dan menulis. “Dan hari-hari saya menghitung asset perjuangan. Asset yang jangan diartikan dengan materi. Asset keteguhan para pejuang untuk tidak membelotkan ideologi ke arah yang menyimpang dari tekad awal,” katanya.

***

Flen 1981.  Doto mengambil ballpoint dan menuliskan nama kota itu di secarik kertas kecil. Flen, sebuah kota kecil, 100 kilometer dari Stockholm. Di kota inilah Doto Zaini belajar menjadi warga dunia. Belajar dari pertemanan dengan mereka orang yang terusir dari tanah ibunya. “Ada yang datang  dari Afrika, Asia maupun Timur Tengah. Mereka datang ke sana karena terusir setelah ia memperjuangkan keyakinan yang dicabik,” kata Doto Zaini.

Mereka tidak seluruh datang dari memperjuangkan state dan nation. Banyak di antara mereka yang berjuang di jalan demokrasi dan ditikan secara brutal oleh institusi negara yang sangat otoriter. Tapi mereka adalah manusia dengan perjuangan yang sama, menuntut keadilan.

“Itulah jalan hidup saya,” begitu Doto memulai perbincangan episode ini. Ketika ia pertama kali berdomisili di Swedia lewat penempatan oleh UNHCR, lembaga PBB yang mengurus pelarian dan pengungsi. “Kami dikumpulkan disebuah kota dan mendapat pengarahan dan penampungan,” katanya. Baginya, Flen menyenangkan walaupun tinggal di flat kecil dari sebuah kota kecil yang jauh dari ibukota. “Semuanya lancar-lancar saja. No poblem.”

Di Flen juga  Zaini kembali menjadi dokter setelah hampir lima tahun meninggalkan profesinya itu. Kembalinya  Zaini menjadi dokter tak membutuhkan waktu lama. “Saya diseleksi, di tes dan kemudian lulus,” katanya. Dari Flen ia pindah lebih dekat dan lebih nyaman ke Uppsala (Doto kembali mengambil ballpoint dan menuliskannya di robekan kertas kecil). Ia nampak enjoy dengan menuliskan sendiri. Bahkan ketika menyebut Stockholm ia mewanti-wanti dengan mengejanya secara pelan huruf perhuruf supaya tidak keliru.

Di Uppsala ini pula Zaini menemukan dirinya kembali sebagai ayah setelah berkumpul dengan istri dan ketiga anaknya, di tahun 1983, setelah mendapat jaminan penempatan dari Duta Besar Swedia di Jakarta. Ia agak gembor mengingat jalannya peristiwa ini dan oleh seorang kawan yang duduk bersama Doto malam itu, Pak Dubes sendiri yang mengantarkannya ke Singapura untuk kemudian diterbangkan ke Swedia dan berkumpul di Uppsala.

Sebagai seorang dokter yang terbengkalai pendidikan spesialisnya, Zaini mengajukan permohonan untuk sekolah lagi. Permohonannya diterima. Dia mendapat beasiswa di Uddevalla, sebuah kota yang sangat jauh dari Stockholm, berjarak 400 kilometer. (Doto menyerahkan secarik kertas usai menulis nama kota itu beserta jaraknya).

Usai menempuh pendidikan di Uddevalla, dia diberitugas di rumah sakit yang prestesius di Ghotenburg selama dua tahun. Rumah sakit itu merupakan rujukan rumah sakit yang lebih kecil. Ini rumah sakit region.

Dan di tahun itu pula ia digeser ke Stockholm dengan status yang lebih tinggi ke ibukota Stockholm.

Di Stockholm ini pula ia bertemu kembali dengan Tengku Muhammad Hasan Ditiro yang sudah melanglang buana ke seluruh dunia dan memulai babakan baru perjuangan lewat politik dan diplomasi. Perjuangan ini kemudiannya baru efektif beberapa tahun setelah Wali Nanggroe bergabung dalam komunitas internasional. baik di Swedia sendiri maupun di Jenewa, Swiss.

Secara keseluruhan perjuangan diplomasi itu, mengajarkan elit di lingkar Wali bagaimana melancarkan arus perjuangan lebih bermartabat dengan kesantunan pergaulan diplomat. Perjuangan ini membutuhkan kesabaran dan tarik ulur dalam kesepakatan yang terkadang membosankan. Juga mengharuskan setiap orang mengikuti diskusi panjang dan rapat-rapat hingga larut malam.

Di Swedia pula para elite GAM di bawah komando Wali memelihara momentum perjuangan bersenjata melalui determinasi militer dan bermain di tataran perdebatan yang menyebabkan bermunculannya simpati dari banyak lembaga hak asasi manusia dan lembaga kemanusiaan lainnya. Bahkan banyak pula diplomat kawakan ikut menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik Aceh yang berdarah-darah di tahun-tahun puncak perlawanan.

Sebutlah pertemuan di Jepang yang gagal, COHA yang terbengkalai atau Jeda Kemanusiaan. Sepanjang tahun 2000-2004 berbagai pertemuan dan rumusan tidak pernah final terselesaikan.

Barulah pada 2005 usai gempa dan tsunami dan Aceh menjadi kosmoplitan karena terbuka untuk bantuan asing dan pergaulan internasional, upaya mempertemukan elite Aceh di Stockholm dengan Jakarta berlangsung intensif dan membuka ruang bagi ditandatanganinya perdamaian.  Di fase ini muncul nama Marthii  Ahtisari, mantan Presiden Finlandia, atau Juha Christensen, Farid Husein atau pun Hamid Awaluddin.

Beda dengan pertemuan sebelumnya yang diemban oleh Hasan Wirajuda ataupun Wiryono, Dubes Indonesia di PBB dan Dubes di Australia, Hamid Awaluddin, Menkumham waktu itu lebih memiliki gigi karena mengemban otoritas penuh mewakili Jakarta. Mereka tidak bolak balik menelpon Jakarta minta persetujuan setiap item atau butir perjanjian. Hamid bisa memutuskan sepanjang tidak keluar dari batasan, negara kesatuan RI.

Ketika Marthi bertanya tentang otonomi luas kepada delegasi GAM dan mereka mengangguk, jalan terjal pertemuan menapak tanah menurun. Dan inilah yang dialami oleh Zaini. Dan untuk itulah Malik Mahmud, Mantroe sekaligus pemangku Wali Nanggroe, mengatakan, gubernur Aceh mendatang harus orang yang tahu ideologi  perjuangan. Bukan mereka yang yang hanya sekadar tahu.

Zaini pun mengatakan dengan jujur, akan menyelesaikan butir-butir yang perlu diatur dari Mou-Helsinki  dan mengimplementasikan untuk kesejahteraan masyarakat.

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Zaini usai penandatanganan 15 Agustus 2005, dia dipercaya menjadi gubernur dalam Pilkada 9 April 2012.  Bersama pasangannya, Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf, meraih suara terbanyak dipilih 55 persen rakyat Aceh yang memiliki hak pilih. Dan membentang pula pekerjaan berat, setengah berat dan lainnya yang memerlukan pembenahan.

Doto Zaini adalah Doto manusia yang tahu anatomi manusia dan antomi Aceh. []


Tulisan ini pernah dipublikasikan "Tabloid BERANDA" dan media-media massa lainnya seperti the atjehpost 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar