Rabu, 27 Maret 2013

Ini tanggapan istana kepresidenan soal Qanun Bendera Aceh


 PIHAK  Istana Kepresidenan menanggapi perihal bendera dan lambang Provinsi Aceh yang menyerupai lambang organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).


Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparingga berharap, tidak ada pihak mengundang perbedaan baru atau bahkan membesarkan sumber ketegangan.

"Memiliki dan memelihara identitas kultural merupakan yang sesuatu yang wajar di masyarakat majemuk, tapi sebaiknya berhenti disitu," tuturnya di kompleks Istana Kepresidenan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2013).

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa membangun identitas politik baru, jelas hanya akan menimbulkan suasana tidak kondusif. Daerah istimewa yang dimiliki Aceh merupakan penghormatan atas keputusan warga Aceh mendukung RI.

Dia berharap semua pihak terikat dengan spirit tersebut. Dan memakainya untuk memajukan kesejahteraan umum di Aceh.

Seperti diketahui, sebelumnya Pemerintah Provinsi Aceh mulai 25 Maret kemarin sudah menetapkan bendera dan lambang daerah mereka. Perdebatan muncul karena bendera Provinsi Aceh menyerupai bendera milik Gerakan Aceh Merdeka.

Pemerintah Provinsi Aceh menyatakan bahwa penetapan lambang dan bendera ini sudah sesuai dengan aturan perundangan yang ada.

Bendera bukan Milik Kelompok


JAKARTA - Bendera, lambang, himne (lagu pujaan), dan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) bukanlah milik satu entitas atau kelompok saja, melainkan representasi dari peradaban seluruh Aceh secara utuh. Dengan demikian, tidak bisa diklaim bahwa simbol-simbol tersebut milik kelompok tertentu saja.

Mantan ketua juru runding Pemerintah Indonesia dalam perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Dr Hamid Awaluddin mengemukakan hal itu dalam Pertemuan Konsultasi Membahas Rancangan Qanun (Raqan) Bendera dan Lambang Aceh, Senin (17/12) malam di Jakarta.

Pertemuan itu diprakarsai Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Pemerintah Aceh, dipandu oleh Abdullah Saleh SH dari Fraksi Partai Aceh.

“Persoalan bendera, lambang, himne, dan Lembaga Wali Nanggroe merupakan bentuk peradaban Aceh secara total. Dibuat untuk menghindari persepsi bahwa itu hanya milik entitas tertentu di Aceh,” kata Hamid saat menceritakan proses perundingan di Helsinki.

Soal bendera, lambang, himne, dan Wali Nanggroe, menurut Hamid, tidak terlalu diperdebatkan dalam perundingan itu dan baru dibahas pada putaran ketiga.

Ia mengatakan bahwa isu bendera, lambang, dan himne paralel dengan isu Wali Nanggroe. Gubernur Zaini Abdullah mengatakan, Raqan Lambang dan Bendera itu merupakan perintah dari UUPA yang harus dilaksanakan.

Mantan ketua pansus RUUPA, Ferry Mursyidan Baldan menyebutkan tidak ada yang aneh dari regulasi tentang bendera, lambang, dan wali nanggroe di Aceh. “Ini sudah disebutkan dalam UUPA dan menjadi kewenangan Pemerintah Aceh dan DPRA membuatnya dalam bentuk qanun.” Hanya saja Ferry mengingatkan agar bendera Aceh dan lambang memuat spirit persatuan dan kesatuan Aceh.

“Bendera sebagai sebuah simbol barangkali secara politik memberi identifikasi mengingat benderanya sama dengan Partai Aceh,” ingat Ferry Mursyidan. Ia menyarankan untuk mengubah desain bendera yang kini diajukan DPRA, sehingga mencerminkan kebersamaan.

Fachry Ali, pengamat politik mengkritisi bunyi draf Raqan Pasal 7 yang menerangkan tentang makna warna dan simbol-simbol bendera, terutama pada huruf (c) berbunyi, “Garis warna hitam, melambangkan dukacita perjuangan rakyat Aceh.” Menurut Fachry itu tidak sesuai lagi untuk abad 21 dan abad 22. “Harusnya ditambahkan soal kecerdasan dan perdamaian,” saran Fachry.

Mantan Wapres Jusuf Kala (JK) menyarankan perubahan desain bendera Aceh, sehingga tidak mirip dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Mungkin bisa diambil dari bendera Kerajaan Aceh abad ke-15 yang ada gambar pedangnya,” kata JK.

JK sependapat bahwa bendera dan lambang Aceh sesuai dengan konsideran rancangan qanun tersebut, yaitu sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi Aceh yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan, serta manifestasi dari kebudayaan yang berakar pada  sejarah, keberagaman budaya dan kesamaan dalam mewujudkan  kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Aceh.

“Kalau dipaksakan bendera GAM, tentu salah satu pihak, apakah itu TNI atau kelompok masyarakat lain di Aceh, apakah bisa terima?” tanya JK.

Pandangan senada diutarakan Prof Yusril Ihza Mahendra. Mantan Menkumham dan mantan Mensesneg yang ikut membahas UUPA di DPR mewakili pemerintah, ini mengatakan, kalau bendera GAM dipasang, maka akan timbul pertanyaan dan perdebatan politik berkepanjangan lagi. “Harapan saya jangan ada lagi hal-hal yang bisa menimbulkan polemik baru di masayarakat,” kata Yusril Ihza.

Ketua Forbes Nasir Djamil setuju bahwa bendera dan lambang Aceh harus mencerminkan kebersamaan di Aceh, “satu untuk semua, semua untuk satu.” 

Dalam pertemuan itu hanya Ketua Fopkra, Fazloen Hasan yang bersuara beda dan mengatakan, “Kenapa haram bendera GAM dijadikan bendera Aceh? Kalau memang haram, berarti orang-orang GAM yang sekarang jadi Gubernur dan Ketua DPRA juga haram,” kata Fazloen.

Pengamat politik J Kristiadi mengatakan, sebaiknya perdebatan tentang bendera dan lambang lebih berorientasi ke depan. “Jangan sampai perdebatan ini memunculkan kembali trauma-trauma kepahitan masa lalu,” katanya. (fik)

Bertentangan 10 Poin
Forum konsultasi untuk membahas Rancangan Qanun (Raqan) Bendera dan Lambang Aceh pada Senin (17/12) malam di Jakarta, berlangsung tanpa kehadiran Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi.

Tapi sebetulnya, Pemerintah Aceh bersama Komisi A DPRA sudah mengundang Mendagri. Namun, yang diutus Mendagri untuk hadir ke acara penting itu adalah Dirjen Otonomi Daerah (Otda), Prof Djohermansyah Djohan.

Menurut Djoehermansyah, Kemendagri menemukan paling tidak sepuluh poin potensi dari Draf Raqan Lambang dan Bendera Aceh itu yang bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, Dirjen Otda tidak membeberkan potensi-potensi pertentangan tersebut.

Bicara atas nama Mendagri, Dirjen Otda hanya menyatakan agar dipertimbangkan kembali lambang dan bendera tersebut, sehingga sesuai dengan harapan perdamaian dan peradaban Aceh. (fik)

Rakyat Umumnya Sependapat
Di awal pertemuan, Ketua DPRA Hasbi Abdullah mengatakan bahwa konsultasi tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dalam rangka penyempurnaan Raqan Lambang dan Bendera yang sedang dibahas DPRA.

Ketua Komisi A Adnan Beuransah menjelaskan kronologi pembahasan yang sudah dilakukan pihaknya dengan sejumlah elemen masyarakat di Aceh dalam rapat dengar pendapat umum. Draf raqan tersebut telah pula dipublikasi di media cetak di Aceh. “Umumnya rakyat Aceh menyatakan sependapat dengan draf rancangan qanun yang telah disusun tersebut,” klaim Adnan. (fik)

Jempol untuk Bendera Pedang
Di pengujung pertemuan, sesaat setelah Jusuf Kalla (JK) mengakhiri pandangannya, lalu beredar lembaran kertas yang memuat bendera warna merah menyala. Bendera tersebut menerakan gambar bulan sabit dan bintang, serta sebuah pedang yang melengkung di bagian bawah. Komunitas Aceh menyebutnya ‘alam peudeung. 

Tidak jelas apakah itu bendera Kerajaan Aceh abad ke-15 seperti yang sebelumnya sempat disinggung JK dalam pidatonya.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Wakil Ketua MPR Farhan Hamid, Ketua Tim Pemantau Otsus Aceh Papua, Prio Budi Santoso didampingi sejumlah peserta pertemuan lainnya berpose bersama dengan bendera “bulan sabit, bintang, pedang” tersebut sambil memperlihatkan jempol sebagai simbol “oke”.

Sementara dalam lampiran draf Raqan Bendera dan Lambang Aceh yang dibagikan kepada peserta pertemuan, tertera bendera mirip milik “GAM” dengan bulan bintang yang diapit dua garis hitam di bagian atas dan bawah. (fik)

Bendera Aceh Kagetkan Jakarta


* Materi Qanun WN Ada yang tak Sesuai Perundang-undangan

JAKARTA - Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri, Prof Djohermansyah Djohan mengaku kaget saat mendengar bahwa bendera dan lambang daerah Aceh yang disahkan persis seperti bendera dan lambang GAM.

“Seingat saya, dalam sebuah pertemuan di Jakarta, kita sudah sampaikan ada 10 potensi pelanggaran undang-undang apabila menggunakan lambang dan bendera yang disodorkan ketika itu,” kata Djohermansyah menjawab Serambi di Jakarta, Selasa (26/3).

Djohermansyah juga mengatakan, inisiator perdamaian Aceh Jusuf Kalla dan bekas Ketua Juru Runding Pemerintah Indonesia Hamid Awaluddin yang hadir dalam pertemuan waktu itu juga sudah mengutarakan pandangannya, bahwa perlu ada modifikasi lambang dan bendera sehingga tidak persis sama dengan lambang dan bendera GAM.

“Dalam pandangan kami, pertemuan itu telah memberi sebuah kesepakatan untuk melakukan modifikasi. Kalau kemudian ternyata modifikasi tidak dilakukan, saya tidak mengerti,” kata Prof Djohermansyah.

Menurut Djohermansyah, Kemendagri akan memberikan klarifikasi terhadap Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang baru disahkan DPRA. “Ada dua hal yang akan dilihat dari qanun tersebut. Pertama apakah bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan di atasnya dan kedua apakah bertentangan dengan kepentingan masyarakat banyak,” kata Djohermansyah Djohan.

Kemendagri, lanjutnya, telah mengirimkan radiogram kepada Gubernur Aceh untuk segera mengirimkan naskah Qanun Nomor 3 Tahun 2013 yang mengatur tentang Bendera dan Lambang Aceh. Djohermansyah Djohan dijadwalkan terbang ke Banda Aceh pada 1 April 2013 untuk bertemu Pemerintah Aceh. “Dalam pertemuan itu akan kita sampaikan klarifikasi Mendagri,” katanya.

Dirjen Otda mengatakan Kemendagri akan meneliti dan mempelajari secara serius qanun tersebut. “Setelah kita teliti, baru kita sampaikan klarifikasinya seperti apa,” ujar Djohermansyah.

Dirjen Otda menambahkan, Kemendagri sudah menyelesaikan klarifikasi Qanun Lembaga Wali Nanggroe (WN). “Ada beberapa materi dalam Qanun Wali Nanggroe yang tidak sesuai dengan perundang-undangan,” sebut Djohermansyah. Namun ia menolak merinci butir-butir mana saja dari isi Qanun Wali Nanggroe yang bertentangan dengan undang-undang.

“Nanti pada pertemuan dengan gubernur dan Ketua DPRA, akan saya sampaikan surat Menteri Dalam Negeri yang berisi klarifikasi terhadap Qanun Wali Nanggroe,” demikian Djohermansyah.

Perkembangan di Aceh sejak tiga hari terakhir, pengibaran bendera Aceh terlihat makin semarak di bebeerapa daerah. Selain pengibaran bendera Aceh di bangunan-bangunan milik masyarakat, juga konvoi kendaraan mengarak bendera berwarna merah dengan lambang bintang bulan itu semakin ramai.

Pada Selasa kemarin, seratusan warga menggunakan sepeda motor dan mobil, konvoi mengelilingi Kota Lhokseumawe bahkan ke sepanjang Jalan Nasional Banda Aceh-Medan hingga ke Kecamatan Tanah Jambo Aye dan Muara Batu, Aceh Utara.

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Aceh (DPW-PA) Lhokseumawe, M Jaini Jafar kepada Serambi menyebutkan, hingga Selasa kemarin pihaknya belum menerima perintah untuk menaikkan dan melakukan konvoi bendera Aceh. “Kalau pun ada yang menaikkan atau melakukan konvoi, itu murni inisiatif masyarakat sebagai refleksi kegembiraan,” kata M Jaini alias Pangben.

Wartawan Serambi di berbagai daerah melaporkan, bendera Aceh terlihat semakin banyak berkibar di sejumlah kawasan Aceh, antara lain Abdya, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, Lhokseumawe, Tamiang, dan Pidie Jaya. Bahkan, di Kota Lhokseumawe, untuk pertama sekali pelantikan Pengurus DPW-PA Kota Lhokseumawe dikibarkan bendera berlambang bintang bulan tersebut dipasang di sebelah kanan Podium Aula Pertemuan Gedung Hasbi Assidqi Mon Geudong, Bandasakti, Kota Lhokseumawe, Selasa (26/3).(fik/c37/ib/c46/nun/az/c42/na/c43)

Jakarta Berhak Evaluasi tetapi Ada Mekanismenya
ANGGOTA Komisi A DPRA, Abdullah Saleh SH membenarkan, setiap produk hukum di daerah wajib dilaporkan ke Mendagri untuk dievaluasi. “Pemerintah Nasional (Pusat) bisa mengavaluasi. Tetapi tentu saja ada mekanismenya,” kata Abdullah Saleh pada Program Cakrawala Radio Serambi FM 90,2 MHz yang membedah Salam Serambi bertajuk Spirit Damai di Bawah Kibaran Bendera Aceh, Selasa 26 Maret 2013.

Terkait dengan produk hukum (qanun) yang mengatur tentang bendera dan lambang daerah, menurut Abdullah Saleh prosesnya (tahapan yang dilakukan) sudah sesuai mekanisme hukum. Kalau memang ternyata nanti, misalnya, pemerintah Jakarta merasa ada hal yang tidak sesuai menurut mereka, sehingga perlu dibatalkan, itu harus dengan keputusdan Presiden.

“Kalau memang (Pusat) tidak sependapat, mekanismenya ya seperti itu. Kalau pun sudah ada keputusan Presiden, ternyata kita (daerah) tidak sependapat (dengan keputusan/perubahan itu), kita bisa mengajukan yudicial review ke Mahkamah Agung,” tandas Abdullah Saleh.

Abdullah Saleh juga mengatakan, “Di masa Orde Baru, kekuasan yang diberikan kepada daerah diistilahkan ‘kepala dilepas ekor dipegang’. Dulu surat edaran Mendagri saja sudah bisa membatalkan produk hukum di daerah. Nah, pada era otonomi daerah sejak tahun 1999, dengan UU Nomor 22, UU Nomor 18 Tahun 2001 seterusnya dengan UUPA, kekuatan produk hukum di daerah sudah otonom.”

Terkait dengan keberadaan bendera, lambang daerah, Qanun Lembaga Wali Nanggro (WN), dan himne, menurut Abdullah Saleh, ini lebih kepada penguatan damai dalam kerangka pelaksanaan MoU Helsinki dan UUPA. “Semuanya sudah disepakati untuk Aceh akan ada bendera, lambang, himne, Lembaga WN dan lain-lain yang bersifat kekhususan itu. Semuanya ini kita wujudkan dan kita laksanakan dalam kerangka pelaksanaan kesepakatan damai itu sendiri,” katanya.

Karenanya, kata anggota Komisi A DPRA tersebut, persoalan bendera, lambang, dan lain-lain harus dilihat secara positif. Semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, TNI/Polri, harus melihat ini dalam rangka perujudan damai. Tak perlu ada keragu-raguan, ketegangan, kebimbangan. Semuanya harus direspons dengan positif,” demikian Abdullah Saleh.

Situs berita BBC edisi Selasa 26 Maret 2013 melansir pernyataan Juru Bicara Kemendagri, Reydonnyzar Moenek dengan mengatakan Presiden berhak untuk membatalkan peraturan daerah yang bertentangan dengan aturan di atasnya.

“Menteri Dalam Negeri akan membatalkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh jika dalam kajiannya nanti mereka menemukan adanya kesamaan dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka,” kata Moenek.

Dijelaskannya, perda atau qanun tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi seperti PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. “Lambang daerah tidak boleh menginspirasi dan menyerupai gerakan separatis,” tandasnya.

Moenek mengatakan, Pemerintah Pusat akan mulai mengkaji aturan tersebut tujuh hari setelah dimasukkan lembaran daerah Pemerintah Provinsi Aceh. “Begitu diserahkan kita akan lakukan klarifikasi dan catatan. Manakala klarifikasi ini tidak diikuti oleh daerah maka atas catatan Menteri Dalam Negeri, Presiden dapat membatalkan perda tersebut,” katanya.

Menurutnya, tidak ada konsultasi antara pemerintah daerah dengan Kementerian Dalam Negeri Aceh dalam proses penyususunan Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Seperti diberitakan, bendera dan lambang daerah (singa burak) sudah sah dan dapat digunakan secara luas di berbagai lintas instansi pemerintah dan vertikal serta lembaga lainnya di Aceh. Penggunaan bendera dan lambang Aceh ini mulai berlaku terhitung 25 Maret 2013 setelah Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah meneken Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, Senin pagi, 25 Maret 2013.(nas/nal)

Spirit Persatuan
QANUN Bendera dan Lambang Aceh merupakan spirit persatuan bagi rakyat Aceh. Dengan pengesahan qanun tersebut akan memberi spirit persatuan bagi rakyat Aceh untuk sama-sama mewujudkan kesejahteraan dan kejayaan Aceh berbasis Dinul Islam. Semua pihak dan masyarakat Aceh agar menerima pengesahan qanun tersebut dan menghindari munculnya polemik dan penolakan dengan alasan yang tidak logis seperti simbol separatis.

Pemerintah Pusat dan pihak terkait lainnya agar menerima dengan ikhlas hasil keputusan ini serta menghindari adanya kecurigaan Aceh memisahkan diri dari NKRI. Kita berharap semua pihak saling terbuka dan menepati janji apa yang sudah tertuang dalam MoU Helsinki agar perdamaian terus abadi di Aceh.
* Tgk Mukhtar Syafari Husin MA, Ketua Umum Gerakan Intelektual Se-Aceh (GISA). (sar)

Bubarkan DPRA
DALAM pantauan YARA, DPRA telah beberapa kali melakukan pembangkangan terhadap aturan perundang-undangan negara. Ada tiga pelanggaran yang dilakukan DPRA. Pertama DPRA pernah membuat keputusan menolak calon independen yang secara konstitutional merupakan hak setiap warga negara, kedua DPRA mengesahkan Qanun Wali Nanggroe yang secara yuridis formilnya bertentangan dengan berbagai perundang-undangan, dan yang ketika DPRA telah mengesahkan Qanun Bendera Aceh yang juga bertentangan dengan aturan perundang undangan.

Ini menunjukkan bahwa DPRA tidak taat pada konstitusi dan tidak patuh pada MoU Helsinki yang pada alenia kedua menyebutkan perdamaian di Aceh berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia.

Jika hal ini terus berulang maka akan menimbulkan ketidak tertiban hukum di Indonesia. Makanya, YARA meminta Presiden RI membubarkan DPRA karena telah melakukan makar terhadap Konstitusi Negara Republik Indonesia.
* Safaruddin SH, Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). (sar)

Bendera Aceh Sah Berkibar



* Singa Burak Gantikan Pancacita

BANDA ACEH - Bendera dan lambang daerah (singa burak) sudah sah dan dapat digunakan secara luas di berbagai lintas instansi pemerintah dan vertikal serta lembaga lainnya di Aceh. Penggunaan bendera dan lambang Aceh ini mulai berlaku terhitung 25 Maret 2013 setelah Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah meneken Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, Senin pagi, 25 Maret 2013. Qanun tersebut juga sudah diundangkan dalam Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 3 dan berlaku untuk pertama kali secara yuridis formal.

“Dari perspektif pembentukan Peraturan Perundang-undangan, apabila  Qanun Aceh tersebut telah diundangkan dalam Lembaran Aceh, maka konsekwensi hukumnya qanun tersebut telah memiliki legalitas berlakunya. Selanjutnya kelegalitasan Qanun Aceh tersebut untuk selamanya memerlukan klarifikasi dari pemerintah, dengan demikian secara certainty of law (kepastian hukum) Qanun Aceh tersebut sudah memiliki kekuatan hukum untuk berlaku,” ujar Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Edrian SH MHum kepada Serambi di Banda Aceh, Senin (25/3).

Edrian didampingi Kepala Biro Humas Setda Aceh, Nurdin F Joes menyebutkan, sesuai MoU Helsinki dalam artikel 1.1. Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh dan artikel 1.1.5. Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne. Atas dasar persetujuan bersama antara DPR Aceh dan Gubernur, maka Gubernur Aceh selaku Kepala Pemerintah Aceh menetapkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh pada 25 Maret 2013. Qanun tersebut diundangkan dalam Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Aceh Nomor 49.

Ketua Badan Legislasi DPRA, Abdullah Saleh SH yang dihubungi Serambi, Senin (25/3) juga mengakui mulai Senin, 25 Maret 2013 Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 3 ditambah Lembaran Aceh Nomor 49 telah berlaku secara sah menurut hukum sesuai Pasal 233 Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

“Dengan telah ditetapkan dalam Lembaran Aceh, maka pengibaran bendera Aceh sebagaimana diatur Qanun Aceh tersebut sudah dapat dilaksanakan. Prinsipnya (bendera) sudah bisa dinaikkan. Namun dalam pelaksanaannya perlu persiapan, termasuk mempersiapkan tiang dan bendera,” kata mantan advokad senior ini.

Abdullah Saleh menjelaskan, kehadiran Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera Aceh dan Lambang, dimaknai dalam kerangka pelaksanaan damai Aceh sebagaimana ditetapkan dalam MoU Helsinki dan UUPA.

Untuk aturan pengibaran, kata Abdullah Saleh, Bendera Aceh dikibarkan berdampingan dengan Bendera Merah Putih dengan posisi tidak lebih tinggi dari Bendera Merah Putih.

Menurut Abdullah Saleh, kewajiban setiap orang yang berdomisili di Aceh wajib memelihara, menjaga, menggunakan bendera dan lambang Aceh sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan dan kehormatan rakyat Aceh. Sedangkan bagi siapa saja yang merusak, merobek, menginjak-injak dan membakar serta melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina atau merendahkan kehormatan Bendera Aceh akan diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 50 juta sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 Qanun Nomor 3 Tahun 2013.

Mengenai lambang daerah, kata Abdullah Saleh, dapat digunakan dalam gedung atau kantor dan luar gedung atau kantor. Selain itu, lambang daerah Aceh juga digunakan pada kop naskah dinas Wali Nanggroe, kepala pemerintahan, DPRA, Keurukon Katibul Wali, Sekretariat Aceh, Sekretariat DPRA, dinas, lembaga teknis dan lembaga Aceh dan lembaga nonstruktural. Lambang Aceh juga digunakan sebagai cap/stempel kop naskah dinas Wali Nanggroe, kepala pemerintahan Aceh, DPRA, Keurukon Katibul Wali, Sekretariat Aceh, Sekretariat DPRA, dinas, lembaga teknis dan lembaga Aceh hingga dalam bentuk pin dan lainnya. “Lambang Pancacita tidak lagi digunakan, akan diganti dengan lambang daerah Aceh berbentuk Singa Burak,” demikian Abdullah Saleh. (sar)

Spirit Bintang Bulan di Zona Timur-Utara
SUKACITA masyarakat atas disahkannya penggunaan secara luas bendera Aceh (termasuk lambang daerah) tak terbendung. Seperti halnya tadi malam, massa dari wilayah utara dan timur Aceh berkonvoi dengan berbagai jenis kendaraan sambil mengarak bendera merah bergambar bintang bulan.

Amatan Serambi, sekitar pukul 18.30 WIB, puluhan sepeda motor, mobil, dan berbagai jenis kendaraan lainnya, sekitar pukul 18.30 WIB, Senin (25/3) bergerak dari Kota Lhokseumawe ke Pantonlabu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh utara. Konvoi kendaraan tersebut mengarak bendera Aceh sambil meneriakkan Allahu Akbar, hidup Aceh, hidup bendera Aceh, Aceh sukses, Aceh akan jaya.

Memasuki Pantonlabu, azan magrib bergema. Konvoi memasuki Masjid Raya Pase untuk shalat magrib berjamaah. Seusai shalat, massa yang menggunakan berbagai jenis kendaraan berdiri di depan Masjid Raya Pase. Selanjutnya, dari Masjid Raya Pase, konvoi bergerak ke terminal dan mengelilingi kota Pantonlabu. Sepanjang perjalanan, termasuk saat kembali ke Lhokseumawe, masyarakat di sepanjang jalur tersebut ikut menyemangati dengan meneriakkan Allahu Akbar dan hidup Aceh.

Pada pukul 21.00 WIB tadi malam, konvoi bertambah panjang sehubungan masuknya kekuatan tambahan dari Aceh Timur. Massa gabungan itu berkumpul di Simpang Kandang, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe.

Sekitar pukul 21.30 WIB, konvoi kendaraan dalam jumlah besar--diiringi sirine--bergerak ke arah Kota Lhokseumawe. Masyarakat menyambut hangat kibaran bendera Aceh yang diarak massa. Semua berbaur dalam suasana sukacita, dalam semangat damai yang begitu indah.(ib/bah/nas)

Bendera Tetap Berkibar


 * Warga Cegah Upaya Penurunan

LHOKSEUMAWE - Lokasi pengibaran bendera bintang bulan di wilayah utara Aceh, meliputi Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe dilaporkan terus bertambah bahkan sempat terjadi pelarangan dari warga saat aparat akan menurunkan bendera tersebut. Di Nagan Raya, bendera merah dengan les hitam itu juga sempat berkibar selama lima jam, namun akhirnya diturunkan oleh pihak keamanan.

Dari Aceh Utara dilaporkan, pengibaran bendera Aceh di Jalan Nasional Banda Aceh-Medan, tepatnya di Keude Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara menarik perhatian masyarakat. Pasalnya, bendera yang dinaikkan sejak Sabtu (23/3) tersebut sempat berusaha diturunkan oleh aparat TNI/Polri pada pukul 13.30 WIB, kemarin. Namun, upaya menurunkan bendera bintang bulan tersebut dengan galah gagal karena dicegah warga. Akibatnya, hingga tadi malam bendera yang berkibar di Keude Geudong itu masih tetap di ujung tiang, termasuk di beberapa titik lainnya.

Menurut laporan, aparat TNI/Polri tiba di Keude Geudong sekitar pukul 13.00 WIB dengan mobil patroli polisi dan sepeda motor. Setiba di lokasi mereka menurunkan spanduk bergambar bendera Aceh dan lambang daerah. Juga foto anggota DPRK Aceh Utara, Azhari Cage dan Ketua KPA Wilayah Pase, Tgk Zulkarnaini Hamzah. Aparat bersenjata terlihat siaga ketika proses penurunan spanduk tersebut dilakukan.

Kalimat yang tertera di spanduk itu, “Kruue seumangat, selamat kami ucapkan kepada DPRA dan Gubernur Aceh yang telah bekerja sama mengesahkan Qanun Bendera Aceh dan Lambang Aceh berasaskan MoU Helsinki poin 1.1.5”.

Ketika aparat hendak menurunkan bendera Aceh, ternyata upaya itu dicegah sejumlah warga. Warga dan Pengurus Partai Aceh (PA) Ranting Geudong berharap, kalau petugas menurunkan bendera itu supaya tidak memotong tiang dan tidak merusak bendera. Karena ada saran seperti itu, akhirnya aparat membatalkan menurunkan bendera. Bahkan, sejumlah warga terlihat memasang kembali spanduk yang sempat diturunkan aparat.

Hingga pukul 22.00 WIB tadi malam, lokasi-lokasi di Aceh Utara yang masih berkibar bendera Aceh antara lain di Keude Geudong, Kecamatan Samudera, Desa Bluek, Kecamatan Meurah Mulia, Jalan Line Pipa, Desa Tanjong Mesjid, Kecamatan Samudera, Desa Simpang Raya, Kecamatan Nibong, dan di Keudee Simpang Mulieng, Kecamatan Syamtalira Aron.

Laporan lain yang diterima Serambi, hingga tadi malam, ada sejumlah lokasi di Aceh Utara yang sudah diturunkan bendera bergambar bintang bulan tersebut, yaitu di Teupin Jok, Kecamatan Nibong dan di atap Sekretariat Dewan Pimpinan Sagoe (DPS) Partai Aceh (PA) Meurah Mulia di Desa Keude Karieng. Bahkan dinding Sekretariat DPS PA itu, yang bergambar bendera juga telah ditutup pada bagian gambar bintang dan bulan dengan menggunakan kertas karton.

Ketua DPS PA Geudong, Zulkifli kepada Serambi mengatakan, pihaknya tidak pernah menyuruh warga menaikkan bendera itu dan tidak mengetahui siapa yang menaikkan. “Jika aparat hendak menurunkan kami juga tidak melarangnya, tapi kami minta supaya bendera itu jangan sampai rusak dan tidak memotong tiangnya jika harus diturunkan,” kata Zulkifli.

Zulkifli membenarkan, spanduk yang sempat diturunkan di Keude Geudong sudah mendapat persetujuan bisa dinaikkan kembali. Laporan lain dari Aceh Utara menyebutkan, di Kecamatan Tanah Jambo Aye, bendera Aceh dikibarkan di Desa Matang Maneh (di dua titik di atas pohon). Bendera itu terlihat berkibar sekitar pukul 10.00 WIB, kemudian diturunkan oleh aparat kepolisian di Tanah Jambo Aye setelah memberikan arahan kepada masyarakat. Bendera yang sudah diturunkan itu diserahkan kepada warga.

“Masyarakat langsung bereaksi dengan mengibarkan bendera Aceh setelah membaca di media bahwa DPRA telah mensahkan qanun tentang bendera dan lambang daerah Aceh,” kata Ketua KPA Pase, Tgk Zulkarnaini Hamzah.

Dari Lhokseumawe dilaporkan, pada Minggu kemarin sedikitnya ada 10 bendera Aceh yang dikibarkan masyarakat di Desa Ujong Blang, Kecamatan Banda Sakti. Bendera bintang bulan itu dikibarkan sekitar pukul 08.00 WIB di depan rumah penduduk, dan sempat terlihat di ujung tiang hingga pukul 14.00 WIB kemarin, sebelum akhirnya diturunkan.

Bendera Aceh dilaporkan sempat pula berkibar di wilayah Nagan Raya sejak Sabtu (23/3) pukul 19.00 WIB hingga Minggu (24/3) dini hari. Namun, pihak kepolisian setempat enggan memberikan konfirmasi terkait pengibaran bendera bintang bulan tersebut.

Informasi yang dihimpun Serambi, titik awal pengibaran bendera Aceh itu masing-masing di Tugu Desa Simpang Peut, Kecamatan Kuala diikatkan pada tiang dan di atas Pos Kamling Desa Ujong Pasie, Kecamatan Kuala diikatkan pada tiang bendera.

Dandim 0116 Nagan Raya, Letkol Inf Yunardi yang dikonfirmasi Serambi Minggu (24/3) melalui ponselnya membenarkan pihaknya bersama aparat Polsek Kuala telah menurunkan bendera berlambang bulan bintang di dua titik di Kecamatan Kuala.

Menurut Letkol Yunardi, penurunan bendera berlambang bintang bulan itu dilakukan pihaknya setelah melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian untuk dilakukan langkah dan penanganan secara persuasif di lapangan guna menghindari hal-hal yang tak diinginkan.(c37/ib/edi)

Gubernur: Jangan Kibarkan Dulu
GUBERNUR Aceh, dr Zaini Abdullah mengimbau masyarakat Aceh agar bersabar dulu untuk mengibarkan bendera bintang bulan. Menurut Gubernur Aceh, meskipun Rancangan Qanun (Raqan) Bendera Aceh dan Lambang Daerah sudah disahkan menjadi qanun oleh DPRA, namun untuk sementara waktu jangan dikibarkan dulu sebab belum dimasukkan dalam lembaran daerah.

“Saya minta bersabar dulu. Sudah ada yang mengibarkan di daerah-daerah, seperti di Lhokseumawe. Karena hal itu belum masuk lembaran daerah, maka bersabar sebentar,” imbau Gubernur Zaini Abdullah ketika berpidato pada pelantikan Pengurus Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA) periode 2013-2018 di Taman Ratu Safiatuddin, Lampriek, Banda Aceh, Minggu (24/3).

Dijelaskan Zaini, sebuah qanun yang telah disahkan DPRA tidak terus bisa diberlakukan, karena ada tahapan yang harus dilalui lagi, seperti harus masuk dulu dalam lembaran daerah. “Kalau belum masuk dalam lembaran daerah, maka qanun tersebut belum boleh diberlakukan. Itu ketentuan yang harus ditaati,” tandasnya.

Zaini menyatakan tidak lama lagi qanun (tentang bendera) sudah bisa diberlakukan. “Saya harapkan untuk itu kita bersabar sebentar,” ujarnya.

Zaini juga mengatakan, tiga raqan yang telah disahkan menjadi qanun oleh DPRA, yaitu Qanun Wali Nanggroe, Lambang Daerah dan Bendera Aceh merupakan hal yang cukup monumental. “Tentunya kita patut memberi aspresiasi pada dewan. Semuanya realisasi dari MoU Helsinki,” katanya.

Khusus kepada Pengurus DPA-PA, Zaini berharap dapat berbuat lebih baik lagi ke depan. “Tantangan untuk sebuah perjuangan masih panjang yang membentang di depan dalam mewujudkan Aceh lebih baik,” demikian Zaini Abdullah.(sup)

Bendera Aceh Berkibar


* Tiga Warga Dimintai Keterangan

LHOKSEUMAWE – Bendera Aceh (Bintang Bulan) ditemukan berkibar setidaknya di empat lokasi dalam tiga kecamatan di Aceh Utara, Sabtu (23/3). Polisi menurunkan beberapa bendera dan memintai keterangan sejumlah warga. Ketua KPA Samudera Pasai, Tgk Zulkarnaini Hamzah menilai fenomena itu sebagai bentuk antusiasme masyarakat, meski belum ada instruksi untuk itu.

Seperti diketahui, DPRA melalui Sidang Paripurna II hari ke-5, Jumat (22/3) mengesahkan tiga rancangan qanun (raqan) menjadi qanun, yaitu Qanun Bendera dan Lambang Aceh, Qanun Penanaman Modal, dan Qanun Tata Cara Pengalokasian Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.

Wakil Ketua DPRA, Sulaiman Abda menjelaskan, dengan telah disahkannya ketiga raqan tersebut menjadi qanun, selanjutnya akan disampaikan kepada Mendagri dan dimasukkan ke dalam lembaran daerah. “Selanjutnya sudah bisa diberlakukan, termasuk bendera bulan bintang dan lambang daerah (singa dan burak),” sebut Sulaiman Abda.

Dari Aceh Utara dilaporkan, sehari setelah keputusan politik mengenai Raqan Bendera dan Lambang Aceh itu disahkan di DPRA, langsung berkibar setidaknya delapan bendera Aceh di empat lokasi dalam tiga kecamatan di Kabupaten Aceh Utara.

Lokasi berkibarnya bendera Aceh itu masing-masing di Kecamatan Samudera (dua lokasi), Kecamatan Meurah Mulia (di atap Sekretariat Partai Aceh Cabang Meurah Mulia, Desa Karieng), dan di Desa Teupin Jok, Kecamatan Nibong.

Amatan Serambi, di Kecamatan Samudera bendera Aceh berkibar di Desa Keude Geudong, pinggir jalan nasional dengan menggunakan tiang dari besi. Masih di Kecamatan Samudera, juga berkibar di Jalan Line Pipa, Desa Tanjong Mesjid yang diikat pada kayu setinggi lebih kurang lima meter. 

Di Kecamatan Meurah Mulia, ditemukan lima lembar bendera berkibar di atap Kantor Cabang PA Meurah Mulia yang diikat pada kayu. Selain bendera bintang bulan, di lokasi serupa juga ada bendera Partai Aceh sebanyak empat lembar.

Sedangkan di Kecamatan Nibong, lokasi pengibaran bendera Aceh di Jalan Line Pipa, Desa Teupin Jok. Bendera itu diikat pada kayu setinggi 5 meter. Hingga pukul 18.30 WIB kemarin, bendera tersebut masih berkibar.

“Semalam bendera itu dinaikkan oleh sejumlah pria. Bukan hanya di Tanjong Mesjid, juga di sejumlah desa lain. Semalam ada tiga warga diamankan aparat Polsek Meurah Mulia saat menaikkan bendera itu,” kata seorang pedagang di Desa Kitou, Kecamatan Meurah Mulia.

Laporan lain menyebutkan, bendera Aceh yang diturunkan petugas adalah di Desa Simpang Empat, Desa Keude Jungka Gajah, dan Desa Munye Peut. “Bendera di Desa Keude Geudong dinaikkan sekitar pukul 12.15 WIB oleh sejumlah pria. Saya juga dapat informasi di desa lain juga ada,” lapor seorang warga.

Informasi resmi dari pihak kepolisian menyebutkan, ada tiga warga yang diamankan ke Mapolsek Meurah Mulia, Sabtu (23/3) sekitar pukul 07.00 WIB karena ditemukan menaikkan bendera Aceh. Ketiga warga tersebut masing-masing Syamsul (26), Martunis (24), dan Saifuddin (23), ketiganya warga Desa Baroh Kuta Batee, Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara. Setelah dimintai keterangan, ketiganya dijemput oleh Pengurus Komite Peralihan Aceh (KPA) Meurah Mulia.

Ketua KPA Samudera Pasai, Tgk Zulkarnaini Hamzah kepada Serambi membenarkan telah mendapat informasi adanya pengibaran bendera bintang bulan di sejumlah titik di kawasan Aceh Utara. “Dari kami belum ada instruksi untuk kibarkan bendera bintang bulan karena memang belum ada perintah dari KPA Pusat, meskipun raqan bendera Aceh dan lambang daerah sudah disahkan menjadi qanun oleh DPRA,” kata Tgk Zulkarnaini.

Menurut Tgk Zulkarnaini, kemungkinan yang menaikkan bendera itu adalah masyarakat yang telah menunggu lama bendera Aceh disahkan menjadi qanun. “Ini adalah bentuk antusias masyarakat terhadap bendera Aceh. Dari kami memang belum ada perintah. Tapi jika sudah ada perintah kami juga akan menginstruksikan setelah disosialisasikan,” katanya.

Wartawan Serambi di berbagai wilayah Aceh lainnya menginformasikan, hingga Sabtu (23/3) malam tak ada pengibaran bendera Aceh. “Di wilayah hukum Polres Agara tak ada pengibaran bendera Aceh,” kata Wakapolres Agara, Kompol Godman Sigiro.

Kapolres Aceh Tamiang, AKBP Dicky Sondani SIK juga mengatakan belum ditemukan pengibaran bendera Aceh di wilayahnya. “Kita masih memantau terus perkembangan di lapangan,” kata Dicky, tadi malam.

Di Aceh Barat, juga tidak ditemukan pengibaran bendera Aceh. “Tidak ada selembar pun berkibar,” kata Kapolres Aceh Barat, AKBP Faisal Rivai SIK  melalui Kabag Ops, Kompol M Yusuf, Sabtu sore.

Kapolres Aceh Jaya, AKBP Drs Galih Sayudo yang dihubungi Sabtu (23/3) malam mengatakan, tidak menemukan adanya pengibaran benderan bulan bintang di wilayah Aceh Jaya. “Untuk saat ini kita belum menemukan adanya pengibaran bendera bulan bintang di Aceh Jaya,” kata Galih Sayudo.

Kapolres Pidie, AKBP Dumadi melalui Kasat Intelkam, AKP Apriadi SSos  mengatakan, hasil pengecekan aparat di jajarannya tidak ditemukan adanya pengibaran bendera Aceh, termasuk di Kantor PA. “Anggota kita melakukan monitor sejak Jumat (22/3) pukul 21.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB, belum ditemukan pengibaran bendera Aceh di Pidie dan Pidie Jaya,” kata Apriadi.

Di Kabupaten Aceh Singkil, pihak KPA dan PA belum mendapat informasi adanya pengibaran bendera Aceh. “Khusus di Aceh Singkil belum ada pengibaran bendera Aceh,” kata Juru Bicara PA dan KPA Aceh Singkil, Azhari alias Ai menjawab Serambi melalui telepon selularnya. Azhari menambahkan, pihaknya menunggu hasil evaluasi Mendagri terhadap Qanun Bendera Aceh. Bila sudah selesai semuanya, baru dikibarkan. “Harus begitu agar tidak menjadi persoalan,” lanjutnya.

Kapolres Bener Meriah, AKBP Cahyo Hutomo yang dihubungi Sabtu (23/3) petang, mengatakan, pihaknya belum menerima laporan adanya pengibaran bendera Aceh di Bener Meriah. “Sampai saat ini saya belum mendapat laporan, apakah ada yang sudah mulai memasang bendera tersebut atau belum. Jadi menurut saya pemasangan bendera itu belum ada. Tapi kita lihat saja perkembanganya nanti,” ujar Cahyo Hutomo. “Jika nantinya bendera Aceh dipasang sah-sah saja karena sudah ada dasar hukumnya. Tetapi jika bendera Aceh itu dipasang lalu timbul permasalahan di tengah-tengah masyarakat, baru pihak kepolisian mengambil tindakan untuk mencegah potensi terjadinya masalah,” pungkas AKBP Cahyo Hutomo.

Dandim 0107/Aceh Selatan, Letkol Inf Saripuddin SIP yang ditanyai Serambi, Sabtu (23/3) sekira pukul 18.35 WIB mengaku belum menerima informasi adanya pengibaran bendera berlambang bintang bulan. “Sampai saat ini belum ada, nanti coba saya cek lagi,” katanya. (c37/as/naz/md/c43/c39/c35/tz/riz/c45)

Sabar, Secepatnya akan Diundangkan
ANGGOTA Komisi A DPRA, Abdullah Saleh mengimbau masyarakat dapat menahan diri dan bersabar untuk mengibarkan bendera Aceh setelah DPRA mengesahkan qanun bedera dan lambang pada Sidang Paripurna II hari ke-5, Jumat 22 Maret 2013.

Menurutnya masih terdapat satu tahapan lagi terkait pemberlakukan qanun tersebut yang juga penting dipahami masyarakat, yaitu persetujuan bersama antara DPRA dan Gubernur agar dapat diundangkan dalam lembaran daerah Aceh.

“Saya menganjurkan dan mengimbau masyarakat sedapat mungkin bersabar dulu sampai qanun ini diundangkan dalam lembaran daerah Aceh. Sehingga secara yuridis formal sudah sah dan memiliki kekuatan hukum tetap,” ujar Abdullah Saleh menjawab Serambi di Banda Aceh, Sabtu (23/3).

Dia berharap masyarakat tidak menyikapi qanun bedera dan lambang Aceh ini secara berlebihan. Sebab, qanun tersebut sesuatu yang biasa dan tidak perlu sampai harus mensakralkannya.

Menurutnya, terkait adanya lambang daerah di sebuah provinsi juga diberlakukan Ternate, Maluku Utara. Di provinsi itu bahkan ada tiga bendera yang dinaikkan secara bersamaan dan berdampingan. Yakni bendera Merah Putih, Bendera Daerah Ternate, dan Bendera Kesultanan.

“Khusus untuk Bendera Kesultanan hanya dinaikkan saat sultan ada di tempat. Kalau tidak ada sultan maka tidak dinaikkan, cuma bendera Ternate dan Bendera Merah Putih yang dinaikkan,” jelasnya.

“Karena itu saya berharap masyarakat juga jangan terlalu reaktif. Sebab yang kita harapkan adalah bendera dan lambang Aceh ini menjadi simbol pemersatu, itu yang paling utama dan subtansial,” ungkap politisi Partai Aceh ini.

Menurut Abdullah Saleh, setelah diundangkan dalam lembaran daerah Aceh, bendera Aceh selanjutnya resmi dapat dinaikkan berdampingan dengan bendera nasional Merah Putih, baik di kantor pemerintahan maupun di instansi lainnya. “Namun posisinya tidak lebih tinggi dari Bendera Merah Putih,” jelasnya.

Sementara itu Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah, Jumat (22/3) malam telah menyetujui Qanun Bendera dan Lambang Aceh untuk disahkan dan diundangkan dalam lembaran daerah Aceh.

“Tadi malam (kemarin malam-red) sudah mendapat persetujuan bersama DPRA dan Pemerintah Aceh. Selanjutnya qanun yang sudah mendapat persetujuan gubernur ini akan segera diteken dalam beberapa waktu ke depan segera diundangkan dalam lembaran daerah Aceh,” kata Abdullah Saleh.

Menurutnya, pada Pasal 232 UUPA ayat (1), Qanun Aceh disahkan Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRA. Kemudian pada pasal 233 ayat (2) qanun sebagaimana dimaksud dalam pasal 232 berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah Aceh.

“Dengan demikian qanun bendera dan lambang Aceh baru berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah Aceh. Untuk proses diundangkan dalam lembaran daerah Aceh masih memerlukan waktu beberapa hari ke depan. Insya Allah sesegera mungkin,” ujarnya. “Setelah berlaku dan diundangkan dalam lembaran daerah pemerintah Aceh akan melaporkan ke Mendagri dan menyosialisasikan ke masyarakat,” ujarnya.(sar)

Sempat Naik
MEMANG ada di sejumlah lokasi yang sempat naik (berkibar) bendera bintang bulan seperti di Meurah Mulia dan Samudera. Polisi juga sempat mengamankan tiga warga untuk dimintai keterangan di Mapolsek Meurah Mulia. Mereka hanya diamankan sebentar dan selanjutnya dikembalikan kepada keluarga masing-masing. Mereka hanya diamankan sebentar untuk dimintai keterangan.
* AKBP Kukuh Santoso, Kapolres Lhokseumawe.(c37)

Tak Masalah
MENURUT saya tak masalah jika masyarakat menaikkan bendera Aceh karena sudah disahkan dalam sidang paripurna dan prosesnya sudah melewati prosedur legal. Bendera adalah bagian dari identitas, bagian dari budaya dan adat. Kalau ada yang menaikkannya, saya kira tidak masalah.

Bendera dan lambang daerah Aceh yang disahkan dalam qanun merupakan kepunyaan seluruh masyarakat Aceh. Hanya saja, saat Aceh dilanda konflik, bendera bulan bintang tersebut dipergunakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Secara pribadi saya mendukung Gayo untuk merdeka, sebagaimana disuarakan melalui berbagai aksi demo, termasuk ke DPRA. Saya mendukung Gayo untuk merdeka, saya berani untuk menandatanganinya. Tapi kalau Aceh saat ini tidak mungkin lagi merdeka. karena sudah bagian dari NKRI.
* Tgk Harun SSos, Anggota Fraksi Partai Aceh DPRA. (sar)

DPRA Sahkan Bendera Aceh



* Termasuk Lambang Singa-Burak

BANDA ACEH - DPRA melalui Sidang Paripurna II hari ke-5, Jumat (22/3) mengesahkan tiga rancangan qanun (raqan) menjadi qanun, yaitu Qanun Bendera dan Lambang Aceh, Qanun Penanaman Modal, dan Qanun Tata Cara Pengalokasian Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.

Sidang Paripurna DPRA pengesahan tiga raqan menjadi tiga qanun itu dipimpin Wakil Ketua II DPRA Drs Sulaiman Abda MSi didampingi Ketua DPRA Drs Hasbi Abdullah, Jumat (22/3) malam di Gedung Utama DPRA.

Ketua DPRA Hasbi Abdullah yang ditanyai Serambi seusai sidang mengatakan, pengesahan tiga raqan tersebut menjadi qanun didasari beberapa hal, yaitu pembahasan bersama materi ketiga raqan itu telah selesai di tingkat pertama antara Komisi, Pansus, dan Badan Legislasi (Banleg) DPRA dengan Tim Pemerintah Aceh. Termasuk melakukan konsultasi kepada pakar hukum, Mendagri, Menkopulhukam, dan berbagai pihak lainnya di tingkat daerah, provinsi, dan Pusat.

Anggota, Komisi, Pansus, dan Banleg DPRA, kata Hasbi juga sudah memberikan pendapat melalui sidang paripurna selama lima hari yang berlangsung sejak Senin (18/3) sampai Jumat (22/3) siang. Bahkan, pada tahap paripurna terakhir, Jumat siang kemarin, masing-masing fraksi DPRA memberikan pendapat akhir fraksi dan menyetujui ketiga raqan itu menjadi qanun.

Hasbi menambahkan, sebelum ketiga raqan itu disahkan, telah dilakukan rapat Badan Musyawarah DPRA untuk padu serasi menyangkut hal-hal yang masih terjadi perbedaan antarfraksi, seperti saran dan usul serta komitmen yang akan diambil. “Karena tahapan untuk pembuatan dan pengesahan sebuah aturan atau qanun telah dilalui secara legal, maka ketiga raqan yang diusul pemerintah dan Banleg DPRA melalui sidang paripurna II DPRA tahun 2013, telah kita sahkan,” tandas Hasbi Abdullah.

Wakil Ketua DPRA, Sulaiman Abda menambahkan, dengan telah disahkannya ketiga raqan tersebut menjadi qanun, selanjutnya akan disampaikan kepada Mendagri dan dimasukkan ke dalam lembaran daerah. “Selanjutnya sudah bisa diberlakukan, termasuk bendera bulan bintang dan lambang singa dan burak Aceh yang baru,” sebut Sulaiman Abda.

Ketua Fraksi Partai Golkar DPRA, Husin Banta yang dimintai tanggapannya mengatakan, tiga raqan tersebut sudah sah menjadi qanun dan sudah bisa diterapkan serta disosialisasikan kepada semua golongan dan seluruh lapisan masyarakat Aceh. 

Khusus untuk bendera bulan bintang dan lambang Aceh yang baru (singa dan burak), menurut Husin harus diartikan dalam arti yang konkrit sesuai kultur dan syariat Islam yang dijalankan di Aceh selama ini. “Jangan diterjemahkan menurut selera masing-masing. Bendera dan lambang Aceh yang kita sahkan itu adalah bendera dan lambang untuk semua golongan atau seluruh rakyat dan masyarakat Aceh,” kata Husin Banta.

Jurubicara Fraksi Partai Aceh, Tgk HM Ramli Sulaiman dan Tgk Muharuddin berharap setelah pengesahan ketiga raqan itu menjadi qanun, jangan nanti baru dua tahun berjalan sudah diusul ubah lagi, karena dianggap keliru dalam pengambilan keputusan sebelumnya.

Jurubicara Fraksi PPP/PKS, Drs H Anwar Idris mengatakan, khusus untuk bendera dan lambang Aceh yang baru, arti dan makna dari simbol-simbol yang terdapat dalam bendera dan lambang Aceh hendaknya diselaraskan dengan norma, kaedah, budaya, dan kultur masyarakat Aceh yang islami.

Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRA, Tanwier Mahdi selain menyatakan persetujuan atas disahkannya ketiga raqan tersebut menjadi qanun, secara khusus juga mengomentari Perubahan Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otsus.

Menurut Tanwier, qanun itu diubah untuk mengubah persentase pembagian yang sebelumnya provinsi 40 persen dan kabupaten/kota 60 persen menjadi provinsi 60 persen dan kabupaten/kota 40 persen.

Tanwier mempertanyakan, apakah pembagian persentase itu sudah bisa memenuhi pengalokasian anggaran wajib tahunan untuk JKA, BKPG, beasiswa anak yatim piatu, beasiswa mahasiswa, dana kesejahtraan guru, dan lainnya yang sifatnya selama ini menjadi tangungjawabnya provinsi. “Fraksi Partai Demokrat tidak menginginkan setelah pembagian persentase itu, alokasi anggaran wajib tahunan menguras jatah 60 persen bagian dana otsus provinsi, sehingga Pemerintah Aceh tidak bisa menggunakan anggarannya untuk melaksanakan 10 program prioritas,” kata Tanwier.

Tanwier mencontohkan, program pembangunan jalan tembus lintas tengah ke pantai timur-utara dan pantai barat-selatan. Yang patuh membiayai dana otsus kabupaten/kotanya untuk program tersebut baru kabupaten/kota di wilayah tengah seperti Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Aceh Singkil. Sedangkan wilayah pantai barat-selatan dan timur-utara Aceh, belum begitu serius.(her)

Gayo Merdeka Menolak
MESKI Sidang Paripurna II DPRA beragendakan pengesahan tiga rancangan qanun (raqan) menjadi qanun--termasuk Qanun Bendera dan Lambang Aceh--berjalan lancar, Jumat (22/3), namun di luar Gedung DPRA suasananya tegang, panas, dan ricuh. Suasana yang sangat berbeda dengan di dalam gedung tersebut disebabkan aksi serombongan besar mahasiswa yang menamakan diri Gayo Merdeka menolak disahkannya raqan bendera dan lambang daerah menjadi qanun.

Sepanjang berlangsungnya aksi Gayo Merdeka, tak ada anggota dewan yang keluar menemui mereka. Pendemo yang sebagian mengenakan pakaian adat Gayo, mengusung bendera merah putih dan bendera Kerajaan Linge. Mereka tiba di depan pintu pagar Gedung DPRA sekitar pukul 10.30 WIB. Di antara mereka, ada juga yang mengusung keranda dilapisi kain putih bertuliskan “Tolak Bendera dan Lambang Aceh”. Karena tak diizinkan masuk oleh pihak keamaman, mereka berorasi di depan pintu pagar.

Koordinator Aksi, Jawahir Putra Gayo dalam orasinya mengatakan pemimpin dan seluruh anggota DPRA saat ini tak lagi memikirkan kepentingan rakyat, tetapi lebih fokus pada kepentingan kelompok. Misalnya, mengesahkan Lembaga Wali Nanggroe serta biaya operasionalnya mencapai miliaran rupiah. Begitu juga untuk kepentingan elit tertentu.

“Hari ini wakil rakyat kembali mempertontonkan kebodohannya sendiri, bendera dan lambang GAM telah disahkan sebagai bendera resmi Pemerintah Aceh. Untuk siapa bendera dan lambang tersebut, melainkan hanya untuk kelompok mereka sendiri. Kebijakan Pemerintahan Aceh tidak mengakui adanya suku-suku lain di Aceh, seperti Gayo, Alas, Singkil, Kluet, dan lain-lain,” teriak Jawahir. Menurut Jawahir, pemaksaan kehendak sepihak oleh Pemerintah Aceh telah menciderai perdamaian dan ketenteraman masyarakat, apalagi bendera dan lambang yang telah disahkan itu tidak bernapaskan Islam.

Usai orasi, pendemo membakar keranda dan memecahkan telur di depan pintu pagar. Baru saja selesai polisi memadamkan api dari keranda, pendemo membakar ban dan tempurung. Polisi juga disibukkan memadamkan api dengan menendang ban.

Dalam suasana tak karu-karuan itu, tiba-tiba terlihat serombongan polisi berpakaian preman mengamankan dua mahasiswa dengan menjepit badan mereka menggunakan tangan. Sedangkan mahasiswa lainnya dipaksa bubar. Akhirnya, pendemo bubar dan berkumpul di seberang jalan, sambil merepet-repet kepada polisi.

Beberapa saat kemudian, mereka meninggalkan lokasi itu dengan sepeda motor, sebagian ada yang menumpangi bus mahasiswa yang kebetulan melintas di depan Gedung DPRA Jalan T Nyak Arif menuju Darussalam. Namun, sebelumnya mereka juga mengancam tetap akan memperjuangkan agar bendera dan lambang Aceh itu ditolak oleh pemerintah pusat, sebelum Gayo resmi berpisah dengan Aceh.(sal)