Rabu, 27 Maret 2013

Bendera Aceh Kagetkan Jakarta


* Materi Qanun WN Ada yang tak Sesuai Perundang-undangan

JAKARTA - Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri, Prof Djohermansyah Djohan mengaku kaget saat mendengar bahwa bendera dan lambang daerah Aceh yang disahkan persis seperti bendera dan lambang GAM.

“Seingat saya, dalam sebuah pertemuan di Jakarta, kita sudah sampaikan ada 10 potensi pelanggaran undang-undang apabila menggunakan lambang dan bendera yang disodorkan ketika itu,” kata Djohermansyah menjawab Serambi di Jakarta, Selasa (26/3).

Djohermansyah juga mengatakan, inisiator perdamaian Aceh Jusuf Kalla dan bekas Ketua Juru Runding Pemerintah Indonesia Hamid Awaluddin yang hadir dalam pertemuan waktu itu juga sudah mengutarakan pandangannya, bahwa perlu ada modifikasi lambang dan bendera sehingga tidak persis sama dengan lambang dan bendera GAM.

“Dalam pandangan kami, pertemuan itu telah memberi sebuah kesepakatan untuk melakukan modifikasi. Kalau kemudian ternyata modifikasi tidak dilakukan, saya tidak mengerti,” kata Prof Djohermansyah.

Menurut Djohermansyah, Kemendagri akan memberikan klarifikasi terhadap Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang baru disahkan DPRA. “Ada dua hal yang akan dilihat dari qanun tersebut. Pertama apakah bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan di atasnya dan kedua apakah bertentangan dengan kepentingan masyarakat banyak,” kata Djohermansyah Djohan.

Kemendagri, lanjutnya, telah mengirimkan radiogram kepada Gubernur Aceh untuk segera mengirimkan naskah Qanun Nomor 3 Tahun 2013 yang mengatur tentang Bendera dan Lambang Aceh. Djohermansyah Djohan dijadwalkan terbang ke Banda Aceh pada 1 April 2013 untuk bertemu Pemerintah Aceh. “Dalam pertemuan itu akan kita sampaikan klarifikasi Mendagri,” katanya.

Dirjen Otda mengatakan Kemendagri akan meneliti dan mempelajari secara serius qanun tersebut. “Setelah kita teliti, baru kita sampaikan klarifikasinya seperti apa,” ujar Djohermansyah.

Dirjen Otda menambahkan, Kemendagri sudah menyelesaikan klarifikasi Qanun Lembaga Wali Nanggroe (WN). “Ada beberapa materi dalam Qanun Wali Nanggroe yang tidak sesuai dengan perundang-undangan,” sebut Djohermansyah. Namun ia menolak merinci butir-butir mana saja dari isi Qanun Wali Nanggroe yang bertentangan dengan undang-undang.

“Nanti pada pertemuan dengan gubernur dan Ketua DPRA, akan saya sampaikan surat Menteri Dalam Negeri yang berisi klarifikasi terhadap Qanun Wali Nanggroe,” demikian Djohermansyah.

Perkembangan di Aceh sejak tiga hari terakhir, pengibaran bendera Aceh terlihat makin semarak di bebeerapa daerah. Selain pengibaran bendera Aceh di bangunan-bangunan milik masyarakat, juga konvoi kendaraan mengarak bendera berwarna merah dengan lambang bintang bulan itu semakin ramai.

Pada Selasa kemarin, seratusan warga menggunakan sepeda motor dan mobil, konvoi mengelilingi Kota Lhokseumawe bahkan ke sepanjang Jalan Nasional Banda Aceh-Medan hingga ke Kecamatan Tanah Jambo Aye dan Muara Batu, Aceh Utara.

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Aceh (DPW-PA) Lhokseumawe, M Jaini Jafar kepada Serambi menyebutkan, hingga Selasa kemarin pihaknya belum menerima perintah untuk menaikkan dan melakukan konvoi bendera Aceh. “Kalau pun ada yang menaikkan atau melakukan konvoi, itu murni inisiatif masyarakat sebagai refleksi kegembiraan,” kata M Jaini alias Pangben.

Wartawan Serambi di berbagai daerah melaporkan, bendera Aceh terlihat semakin banyak berkibar di sejumlah kawasan Aceh, antara lain Abdya, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, Lhokseumawe, Tamiang, dan Pidie Jaya. Bahkan, di Kota Lhokseumawe, untuk pertama sekali pelantikan Pengurus DPW-PA Kota Lhokseumawe dikibarkan bendera berlambang bintang bulan tersebut dipasang di sebelah kanan Podium Aula Pertemuan Gedung Hasbi Assidqi Mon Geudong, Bandasakti, Kota Lhokseumawe, Selasa (26/3).(fik/c37/ib/c46/nun/az/c42/na/c43)

Jakarta Berhak Evaluasi tetapi Ada Mekanismenya
ANGGOTA Komisi A DPRA, Abdullah Saleh SH membenarkan, setiap produk hukum di daerah wajib dilaporkan ke Mendagri untuk dievaluasi. “Pemerintah Nasional (Pusat) bisa mengavaluasi. Tetapi tentu saja ada mekanismenya,” kata Abdullah Saleh pada Program Cakrawala Radio Serambi FM 90,2 MHz yang membedah Salam Serambi bertajuk Spirit Damai di Bawah Kibaran Bendera Aceh, Selasa 26 Maret 2013.

Terkait dengan produk hukum (qanun) yang mengatur tentang bendera dan lambang daerah, menurut Abdullah Saleh prosesnya (tahapan yang dilakukan) sudah sesuai mekanisme hukum. Kalau memang ternyata nanti, misalnya, pemerintah Jakarta merasa ada hal yang tidak sesuai menurut mereka, sehingga perlu dibatalkan, itu harus dengan keputusdan Presiden.

“Kalau memang (Pusat) tidak sependapat, mekanismenya ya seperti itu. Kalau pun sudah ada keputusan Presiden, ternyata kita (daerah) tidak sependapat (dengan keputusan/perubahan itu), kita bisa mengajukan yudicial review ke Mahkamah Agung,” tandas Abdullah Saleh.

Abdullah Saleh juga mengatakan, “Di masa Orde Baru, kekuasan yang diberikan kepada daerah diistilahkan ‘kepala dilepas ekor dipegang’. Dulu surat edaran Mendagri saja sudah bisa membatalkan produk hukum di daerah. Nah, pada era otonomi daerah sejak tahun 1999, dengan UU Nomor 22, UU Nomor 18 Tahun 2001 seterusnya dengan UUPA, kekuatan produk hukum di daerah sudah otonom.”

Terkait dengan keberadaan bendera, lambang daerah, Qanun Lembaga Wali Nanggro (WN), dan himne, menurut Abdullah Saleh, ini lebih kepada penguatan damai dalam kerangka pelaksanaan MoU Helsinki dan UUPA. “Semuanya sudah disepakati untuk Aceh akan ada bendera, lambang, himne, Lembaga WN dan lain-lain yang bersifat kekhususan itu. Semuanya ini kita wujudkan dan kita laksanakan dalam kerangka pelaksanaan kesepakatan damai itu sendiri,” katanya.

Karenanya, kata anggota Komisi A DPRA tersebut, persoalan bendera, lambang, dan lain-lain harus dilihat secara positif. Semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, TNI/Polri, harus melihat ini dalam rangka perujudan damai. Tak perlu ada keragu-raguan, ketegangan, kebimbangan. Semuanya harus direspons dengan positif,” demikian Abdullah Saleh.

Situs berita BBC edisi Selasa 26 Maret 2013 melansir pernyataan Juru Bicara Kemendagri, Reydonnyzar Moenek dengan mengatakan Presiden berhak untuk membatalkan peraturan daerah yang bertentangan dengan aturan di atasnya.

“Menteri Dalam Negeri akan membatalkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh jika dalam kajiannya nanti mereka menemukan adanya kesamaan dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka,” kata Moenek.

Dijelaskannya, perda atau qanun tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi seperti PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. “Lambang daerah tidak boleh menginspirasi dan menyerupai gerakan separatis,” tandasnya.

Moenek mengatakan, Pemerintah Pusat akan mulai mengkaji aturan tersebut tujuh hari setelah dimasukkan lembaran daerah Pemerintah Provinsi Aceh. “Begitu diserahkan kita akan lakukan klarifikasi dan catatan. Manakala klarifikasi ini tidak diikuti oleh daerah maka atas catatan Menteri Dalam Negeri, Presiden dapat membatalkan perda tersebut,” katanya.

Menurutnya, tidak ada konsultasi antara pemerintah daerah dengan Kementerian Dalam Negeri Aceh dalam proses penyususunan Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Seperti diberitakan, bendera dan lambang daerah (singa burak) sudah sah dan dapat digunakan secara luas di berbagai lintas instansi pemerintah dan vertikal serta lembaga lainnya di Aceh. Penggunaan bendera dan lambang Aceh ini mulai berlaku terhitung 25 Maret 2013 setelah Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah meneken Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, Senin pagi, 25 Maret 2013.(nas/nal)

Spirit Persatuan
QANUN Bendera dan Lambang Aceh merupakan spirit persatuan bagi rakyat Aceh. Dengan pengesahan qanun tersebut akan memberi spirit persatuan bagi rakyat Aceh untuk sama-sama mewujudkan kesejahteraan dan kejayaan Aceh berbasis Dinul Islam. Semua pihak dan masyarakat Aceh agar menerima pengesahan qanun tersebut dan menghindari munculnya polemik dan penolakan dengan alasan yang tidak logis seperti simbol separatis.

Pemerintah Pusat dan pihak terkait lainnya agar menerima dengan ikhlas hasil keputusan ini serta menghindari adanya kecurigaan Aceh memisahkan diri dari NKRI. Kita berharap semua pihak saling terbuka dan menepati janji apa yang sudah tertuang dalam MoU Helsinki agar perdamaian terus abadi di Aceh.
* Tgk Mukhtar Syafari Husin MA, Ketua Umum Gerakan Intelektual Se-Aceh (GISA). (sar)

Bubarkan DPRA
DALAM pantauan YARA, DPRA telah beberapa kali melakukan pembangkangan terhadap aturan perundang-undangan negara. Ada tiga pelanggaran yang dilakukan DPRA. Pertama DPRA pernah membuat keputusan menolak calon independen yang secara konstitutional merupakan hak setiap warga negara, kedua DPRA mengesahkan Qanun Wali Nanggroe yang secara yuridis formilnya bertentangan dengan berbagai perundang-undangan, dan yang ketika DPRA telah mengesahkan Qanun Bendera Aceh yang juga bertentangan dengan aturan perundang undangan.

Ini menunjukkan bahwa DPRA tidak taat pada konstitusi dan tidak patuh pada MoU Helsinki yang pada alenia kedua menyebutkan perdamaian di Aceh berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia.

Jika hal ini terus berulang maka akan menimbulkan ketidak tertiban hukum di Indonesia. Makanya, YARA meminta Presiden RI membubarkan DPRA karena telah melakukan makar terhadap Konstitusi Negara Republik Indonesia.
* Safaruddin SH, Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). (sar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar