* Termasuk Lambang Singa-Burak
BANDA ACEH - DPRA melalui Sidang Paripurna II hari ke-5, Jumat (22/3) mengesahkan tiga rancangan qanun (raqan) menjadi qanun, yaitu Qanun Bendera dan Lambang Aceh, Qanun Penanaman Modal, dan Qanun Tata Cara Pengalokasian Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.
Sidang Paripurna DPRA pengesahan tiga raqan menjadi tiga qanun itu dipimpin Wakil Ketua II DPRA Drs Sulaiman Abda MSi didampingi Ketua DPRA Drs Hasbi Abdullah, Jumat (22/3) malam di Gedung Utama DPRA.
Ketua DPRA Hasbi Abdullah yang ditanyai Serambi seusai sidang mengatakan, pengesahan tiga raqan tersebut menjadi qanun didasari beberapa hal, yaitu pembahasan bersama materi ketiga raqan itu telah selesai di tingkat pertama antara Komisi, Pansus, dan Badan Legislasi (Banleg) DPRA dengan Tim Pemerintah Aceh. Termasuk melakukan konsultasi kepada pakar hukum, Mendagri, Menkopulhukam, dan berbagai pihak lainnya di tingkat daerah, provinsi, dan Pusat.
Anggota, Komisi, Pansus, dan Banleg DPRA, kata Hasbi juga sudah memberikan pendapat melalui sidang paripurna selama lima hari yang berlangsung sejak Senin (18/3) sampai Jumat (22/3) siang. Bahkan, pada tahap paripurna terakhir, Jumat siang kemarin, masing-masing fraksi DPRA memberikan pendapat akhir fraksi dan menyetujui ketiga raqan itu menjadi qanun.
Hasbi menambahkan, sebelum ketiga raqan itu disahkan, telah dilakukan rapat Badan Musyawarah DPRA untuk padu serasi menyangkut hal-hal yang masih terjadi perbedaan antarfraksi, seperti saran dan usul serta komitmen yang akan diambil. “Karena tahapan untuk pembuatan dan pengesahan sebuah aturan atau qanun telah dilalui secara legal, maka ketiga raqan yang diusul pemerintah dan Banleg DPRA melalui sidang paripurna II DPRA tahun 2013, telah kita sahkan,” tandas Hasbi Abdullah.
Wakil Ketua DPRA, Sulaiman Abda menambahkan, dengan telah disahkannya ketiga raqan tersebut menjadi qanun, selanjutnya akan disampaikan kepada Mendagri dan dimasukkan ke dalam lembaran daerah. “Selanjutnya sudah bisa diberlakukan, termasuk bendera bulan bintang dan lambang singa dan burak Aceh yang baru,” sebut Sulaiman Abda.
Ketua Fraksi Partai Golkar DPRA, Husin Banta yang dimintai tanggapannya mengatakan, tiga raqan tersebut sudah sah menjadi qanun dan sudah bisa diterapkan serta disosialisasikan kepada semua golongan dan seluruh lapisan masyarakat Aceh.
Khusus untuk bendera bulan bintang dan lambang Aceh yang baru (singa dan burak), menurut Husin harus diartikan dalam arti yang konkrit sesuai kultur dan syariat Islam yang dijalankan di Aceh selama ini. “Jangan diterjemahkan menurut selera masing-masing. Bendera dan lambang Aceh yang kita sahkan itu adalah bendera dan lambang untuk semua golongan atau seluruh rakyat dan masyarakat Aceh,” kata Husin Banta.
Jurubicara Fraksi Partai Aceh, Tgk HM Ramli Sulaiman dan Tgk Muharuddin berharap setelah pengesahan ketiga raqan itu menjadi qanun, jangan nanti baru dua tahun berjalan sudah diusul ubah lagi, karena dianggap keliru dalam pengambilan keputusan sebelumnya.
Jurubicara Fraksi PPP/PKS, Drs H Anwar Idris mengatakan, khusus untuk bendera dan lambang Aceh yang baru, arti dan makna dari simbol-simbol yang terdapat dalam bendera dan lambang Aceh hendaknya diselaraskan dengan norma, kaedah, budaya, dan kultur masyarakat Aceh yang islami.
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRA, Tanwier Mahdi selain menyatakan persetujuan atas disahkannya ketiga raqan tersebut menjadi qanun, secara khusus juga mengomentari Perubahan Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otsus.
Menurut Tanwier, qanun itu diubah untuk mengubah persentase pembagian yang sebelumnya provinsi 40 persen dan kabupaten/kota 60 persen menjadi provinsi 60 persen dan kabupaten/kota 40 persen.
Tanwier mempertanyakan, apakah pembagian persentase itu sudah bisa memenuhi pengalokasian anggaran wajib tahunan untuk JKA, BKPG, beasiswa anak yatim piatu, beasiswa mahasiswa, dana kesejahtraan guru, dan lainnya yang sifatnya selama ini menjadi tangungjawabnya provinsi. “Fraksi Partai Demokrat tidak menginginkan setelah pembagian persentase itu, alokasi anggaran wajib tahunan menguras jatah 60 persen bagian dana otsus provinsi, sehingga Pemerintah Aceh tidak bisa menggunakan anggarannya untuk melaksanakan 10 program prioritas,” kata Tanwier.
Tanwier mencontohkan, program pembangunan jalan tembus lintas tengah ke pantai timur-utara dan pantai barat-selatan. Yang patuh membiayai dana otsus kabupaten/kotanya untuk program tersebut baru kabupaten/kota di wilayah tengah seperti Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Aceh Singkil. Sedangkan wilayah pantai barat-selatan dan timur-utara Aceh, belum begitu serius.(her)
Gayo Merdeka Menolak
MESKI Sidang Paripurna II DPRA beragendakan pengesahan tiga rancangan qanun (raqan) menjadi qanun--termasuk Qanun Bendera dan Lambang Aceh--berjalan lancar, Jumat (22/3), namun di luar Gedung DPRA suasananya tegang, panas, dan ricuh. Suasana yang sangat berbeda dengan di dalam gedung tersebut disebabkan aksi serombongan besar mahasiswa yang menamakan diri Gayo Merdeka menolak disahkannya raqan bendera dan lambang daerah menjadi qanun.
Sepanjang berlangsungnya aksi Gayo Merdeka, tak ada anggota dewan yang keluar menemui mereka. Pendemo yang sebagian mengenakan pakaian adat Gayo, mengusung bendera merah putih dan bendera Kerajaan Linge. Mereka tiba di depan pintu pagar Gedung DPRA sekitar pukul 10.30 WIB. Di antara mereka, ada juga yang mengusung keranda dilapisi kain putih bertuliskan “Tolak Bendera dan Lambang Aceh”. Karena tak diizinkan masuk oleh pihak keamaman, mereka berorasi di depan pintu pagar.
Koordinator Aksi, Jawahir Putra Gayo dalam orasinya mengatakan pemimpin dan seluruh anggota DPRA saat ini tak lagi memikirkan kepentingan rakyat, tetapi lebih fokus pada kepentingan kelompok. Misalnya, mengesahkan Lembaga Wali Nanggroe serta biaya operasionalnya mencapai miliaran rupiah. Begitu juga untuk kepentingan elit tertentu.
“Hari ini wakil rakyat kembali mempertontonkan kebodohannya sendiri, bendera dan lambang GAM telah disahkan sebagai bendera resmi Pemerintah Aceh. Untuk siapa bendera dan lambang tersebut, melainkan hanya untuk kelompok mereka sendiri. Kebijakan Pemerintahan Aceh tidak mengakui adanya suku-suku lain di Aceh, seperti Gayo, Alas, Singkil, Kluet, dan lain-lain,” teriak Jawahir. Menurut Jawahir, pemaksaan kehendak sepihak oleh Pemerintah Aceh telah menciderai perdamaian dan ketenteraman masyarakat, apalagi bendera dan lambang yang telah disahkan itu tidak bernapaskan Islam.
Usai orasi, pendemo membakar keranda dan memecahkan telur di depan pintu pagar. Baru saja selesai polisi memadamkan api dari keranda, pendemo membakar ban dan tempurung. Polisi juga disibukkan memadamkan api dengan menendang ban.
Dalam suasana tak karu-karuan itu, tiba-tiba terlihat serombongan polisi berpakaian preman mengamankan dua mahasiswa dengan menjepit badan mereka menggunakan tangan. Sedangkan mahasiswa lainnya dipaksa bubar. Akhirnya, pendemo bubar dan berkumpul di seberang jalan, sambil merepet-repet kepada polisi.
Beberapa saat kemudian, mereka meninggalkan lokasi itu dengan sepeda motor, sebagian ada yang menumpangi bus mahasiswa yang kebetulan melintas di depan Gedung DPRA Jalan T Nyak Arif menuju Darussalam. Namun, sebelumnya mereka juga mengancam tetap akan memperjuangkan agar bendera dan lambang Aceh itu ditolak oleh pemerintah pusat, sebelum Gayo resmi berpisah dengan Aceh.(sal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar