RAMAI orang Aceh suka berbicara tentang politik Aceh, apa lagi sejak damai yang sudah berlangsung 6 tahun, bertaburlah macam – macam cerita.
Ada yang bilang Aceh sudah dijual, ada yang bilang Aceh akan maju setelah damai, ada juga yang bilang Aceh akan merdeka dengan sendirinya nanti, bukan juga tidak ada yang bilang Aceh akan perang lagi. Nah kesemua ini hanya prediksi–prediksi yang tidak ada pegangan, semuanya berbentuk semu untuk melegalkan kempanye para pihak yang ingin menjadi aktor di Aceh.
Ketika perang berkecamuk, ramai orang berpikir kapankah perang berakhir? Lalu, ketika GAM bersedia berdamai, ada pula satu dua orang yang coba mengusik kedamaian yang sudah berjalan, ini terlihat dari adanya benih kekerasan walaupun sangat kecil dibandingkan masa perang. Maka dari itu timbullah pertanyaan dari kita, apa sebenarnya yang diinginkan oleh beberapa orang yang selalu saja mengumpat bahwa kerja orang lain itu tak pernah betul, sungguh tidak beradap.
Tatkala GAM berjuang untuk merdeka, dibilang GAM tak benar. Tatkala berkesempatan mengurus Aceh, di bilang GAM pentingkan kedudukan dan kekuasaan. Padahal semua tau tanpa kekuasaan dan keterlibatan dalam pemerintahan sungguh tidak ada apa-apanya untuk melakukan perubahan bagi Aceh kedepan.
Memang nama Aceh tetap masih populer di hati orang Aceh, Aceh tetap seksi dalam diri orang Aceh, ada yang karena terlalu mencintai Aceh, sehingga bersedia pergi meninggalkan teman-teman seperjuangan, untuk membuat benteng pertahanan sendiri. Bukan salah, tidak salah memang, tapi justru sangat beruntung jika semuanya masih berada dalam sebuah kapal, bekerja dalam satu visi untuk mencapai sebuah misi.
Sayangnya adalah orang yang ikut–ikutan tanpa tujuan yang jelas, bisa saja karena hubungan teman, kenalan, kebencian, kebodohan, dan adanya tawaran – tawaran yang sangat istimewa. Takutnya jika berakibat tidak baik, jadilah yang ikut–ikutan sebagi korban politik, maka dengan itu ada baiknya janganlah ikut–ikutan (bék meuka ikoet – ikoet ajue).
Tengku Hasan Muhammad Di Tiro, Deklarator AM (Aceh Merdeka), pernah berkata bahwa Bansa Aceh sedang kena penyakit identitas, beliau berusaha dengan segala kemampuan yang ada untuk mengobati penyakit tersebut.
Sayangnya di tengah ketekunan sang Wali Nanggroe meramu semua resep, beliau harus pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Kepergian beliau telah membuat penyakit tersebut kambuh kembali dalam tubuh makhluk tuhan, walaupun sangat kecil namun itu tetap menjadi wabah, bagi gerakan kemajuan Aceh yang telah diraih dalam MoU.
Sebagai kata penutup, saya ingin tawarkan kepada saudara se Aceh, marilah menguatkan barisan, mempertahankan Nasionalisme ke Acehan, tanpa harus menciptakan ruang perpecahan, bersatulah, agar kita bisa meraih kemenangan, untuk membangun dengan tetap memelihara adat resam budaya Aceh.
Bahagia Muchtar adalah salah seorang Pembina ACDK (Aceh Denmark) yang saat ini berdomisili di Denmark
Ada yang bilang Aceh sudah dijual, ada yang bilang Aceh akan maju setelah damai, ada juga yang bilang Aceh akan merdeka dengan sendirinya nanti, bukan juga tidak ada yang bilang Aceh akan perang lagi. Nah kesemua ini hanya prediksi–prediksi yang tidak ada pegangan, semuanya berbentuk semu untuk melegalkan kempanye para pihak yang ingin menjadi aktor di Aceh.
Ketika perang berkecamuk, ramai orang berpikir kapankah perang berakhir? Lalu, ketika GAM bersedia berdamai, ada pula satu dua orang yang coba mengusik kedamaian yang sudah berjalan, ini terlihat dari adanya benih kekerasan walaupun sangat kecil dibandingkan masa perang. Maka dari itu timbullah pertanyaan dari kita, apa sebenarnya yang diinginkan oleh beberapa orang yang selalu saja mengumpat bahwa kerja orang lain itu tak pernah betul, sungguh tidak beradap.
Tatkala GAM berjuang untuk merdeka, dibilang GAM tak benar. Tatkala berkesempatan mengurus Aceh, di bilang GAM pentingkan kedudukan dan kekuasaan. Padahal semua tau tanpa kekuasaan dan keterlibatan dalam pemerintahan sungguh tidak ada apa-apanya untuk melakukan perubahan bagi Aceh kedepan.
Memang nama Aceh tetap masih populer di hati orang Aceh, Aceh tetap seksi dalam diri orang Aceh, ada yang karena terlalu mencintai Aceh, sehingga bersedia pergi meninggalkan teman-teman seperjuangan, untuk membuat benteng pertahanan sendiri. Bukan salah, tidak salah memang, tapi justru sangat beruntung jika semuanya masih berada dalam sebuah kapal, bekerja dalam satu visi untuk mencapai sebuah misi.
Sayangnya adalah orang yang ikut–ikutan tanpa tujuan yang jelas, bisa saja karena hubungan teman, kenalan, kebencian, kebodohan, dan adanya tawaran – tawaran yang sangat istimewa. Takutnya jika berakibat tidak baik, jadilah yang ikut–ikutan sebagi korban politik, maka dengan itu ada baiknya janganlah ikut–ikutan (bék meuka ikoet – ikoet ajue).
Tengku Hasan Muhammad Di Tiro, Deklarator AM (Aceh Merdeka), pernah berkata bahwa Bansa Aceh sedang kena penyakit identitas, beliau berusaha dengan segala kemampuan yang ada untuk mengobati penyakit tersebut.
Sayangnya di tengah ketekunan sang Wali Nanggroe meramu semua resep, beliau harus pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Kepergian beliau telah membuat penyakit tersebut kambuh kembali dalam tubuh makhluk tuhan, walaupun sangat kecil namun itu tetap menjadi wabah, bagi gerakan kemajuan Aceh yang telah diraih dalam MoU.
Sebagai kata penutup, saya ingin tawarkan kepada saudara se Aceh, marilah menguatkan barisan, mempertahankan Nasionalisme ke Acehan, tanpa harus menciptakan ruang perpecahan, bersatulah, agar kita bisa meraih kemenangan, untuk membangun dengan tetap memelihara adat resam budaya Aceh.
Bahagia Muchtar adalah salah seorang Pembina ACDK (Aceh Denmark) yang saat ini berdomisili di Denmark
Tidak ada komentar:
Posting Komentar