Jumat, 20 April 2012

“Dan, Air Mata Irwandi pun Menetes...”


“KITA ngobrol di sana saja,” kata Irwandi Yusuf kepada saya. Bersama, kami melangkah menuju payung hijau di tepi kolam renang rumahnya di Lamprit, Banda Aceh. Ada empat kursi di sana. Payung masih tertutup, Gubernur Aceh ini membuka sendiri payung, kami duduk di bawahnya. Ini adalah pertemuan saya yang kedua dengan pria berkacamata yang akrab disapa Tengku Agam. Saya teringat, hampir lima tahun silam saya pernah ngobrol dengannya di Hotel Mulia, Jakarta, setelah dia terpilih menjadi Gubernur Aceh.

Hari itu, Jumat 16 September 2011. Terik matahari yang cerah bak mencubit kulit. Terasa gerah. Ditambah lagi rasa kaku duduk di sebelah pria berbaju biru ini. Tak enak juga saat melihatnya meninggalkan para tamu. Sebagai orang nomor satu di Aceh tentu setiap hari banyak yang datang ke tempatnya.

Salah satu tamu yang saya hafal wajahnya adalah Sofyan Daud, mantan Juru Bicara Gerakan Aceh Merdeka. Soalnya wajahnya sering muncul di media massa. Selain itu, tak satu pun saya mengenalnya. Beberapa pria yang duduk di payung lain, seolah tak berkejap memperhatikan kami. Begitu juga sejumlah pria yang duduk di teras belakang. Sejenak saya merasa terasing di sini.

"Ka ba kupi dan asbak siat keunoe (tolong bawakan kopi dan asbak ke sini)," kata Irwardi kepada seorang petugas. Tak lama, sang petugas datang dengan membawa empat gelas kopi dan dua asbak. Irwandi pun menyulut sebatang Dji Sam Soe dan menyelipkan di bibirnya.

Sejenak kami membisu. Dari balik kacamata, Irwandi melirik saya. Beradu pandang, dan dia tertawa. “Sekarang, saya duduk dan ngobrol dengan kalian hari ini ya,” katanya sambil mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum lebar. Saya memang tak sendiri ke sini, ditemani wartawan The Atjeh Post Yuswardi A. Suud, dan Oki R. Tiba, anak muda yang menjadi Tim Sukses Irwandi.

Lebih sebulan Irwandi Yusuf nyaris puasa bicara. Banyak cerita yang beredar tentang diamnya Gubernur Aceh yang biasanya ceplas-ceplos ini. Pembicaraan berlangsung hangat, sesekali dia menyindir saya yang dinilainya punya hubungan baik dengan Muzakir Manaf, Ketua Umum Partai Aceh, yang menjadi rivalnya pada Pilkada 2011. Tak apa, toh Irwandi masih tetap mau saya wawancarai. Sama halnya dengan Wakil Gubernur Muhammad Nazar yang juga akan maju menjadi calon gubernur, kendati demikian Nazar tetap bersedia saya wawancarai.

Semua pertanyaan itu, tak pernah saya berusaha menyangkalnya. Sebab, memang benar saya memiliki hubungan baik, bahkan dengan ketiga-tiganya. “Begini Bang, yang terpenting sebenarnya bukan dengan siapa saya berhubungan baik, tetapi yang perlu dicermati adalah apa yang kami lakukan sebagai wartawan,” kata saya.

Irwandi hanya tertawa-tawa saja, saya tahu dia belum percaya dengan apa yang saya katakan. Saya juga tak berusaha membuatnya yakin, saya percaya Irwandi tak tertarik dan tentu saja tak penting baginya untuk menyoal saya yang cuma seorang penulis.

Barangkali, itu sebabnya pembicaraan kami terus berlanjut. Hingga kemudian tiba saatnya saya bertanya, “Mengapa, Abang sekarang lebih banyak diam. Setidaknya, kemunculan Abang di media massa tak serajin sebelum ramadhan?” Irwandi menjawab, “saya mematuhi kesepakatan, bahwa saatnya jeda politik ya saya patuhi.” Memang dialog antara Depdagri, DPRA dan Pemerintah Aceh, menyepakati untuk jeda politik, setelah Aceh dilanda gonjang-ganjing politik menjelang Pilkada.

***

Sofyan Daud datang menghampiri Irwandi. Semula saya menduga, Sofyan hendak ikut duduk bersama kami, ternyata pria tinggi yang akrab disapa Aduen pamit pada Irwandi. Kami kemudian melanjutkan obrolan politik pagi Jumat. Di antaranya soal rivalitasnya, dan segala macam pekerjaan politik yang sedang berlangsung di Aceh. Tak ada kalimat yang menyerang kandidat lain dari Irwandi. Bahkan dia menyatakan kesedihannya dengan perpecahan yang terjadi antar teman-temannya sesama orang pergerakan. “Bukan saya yang menyebabkan perpecahan terjadi," katanya.

Uh, bosan rasanya bicara politik terus bersama Irwandi. Kemudian perlahan kami bicara pekara-pekara lain. Termasuk responnya tentang insiden pemukulan khatib di Masjid Keumala, Pidie. “Saya tak mau masuk ke wilayah itu,” katanya. Irwandi juga mengatakan persoalan itu lebih baik diselesaikan di ranah hukum saja. “Namun, saya belum terima surat permohonan untuk pemeriksaan tersangka,” katanya. “Kita tunggu saja.”

Kami bicara memang seperti orang ngobrol di warung kopi, ngolor ngidul tanpa perencanaan khusus. Jadi ya kadang-kadang bicara politik lalu belok ke cerita lain. Kadang saya juga bertanya tentang jabatannya sebagai gubernur yang mungkin saja menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik. “Saya tak menggunakan fasilitas negara apapun untuk itu, saya bahkan melarang kapala dinas yang hendak mencarikan uang untuk saya. Pasti saya menanyakan uang dari mana itu, tak perlu mencari uang untuk saya,” katanya.

Bagaimana jika Tim Sukses yang mencari uang untuk biaya politik? “Itu saya tak melarangnya sepanjang dia menggunakan jalan yang benar,” katanya.

Irwandi juga bercerita tentang kekayaan yang diperolehnya selama menjabat sebagai gubernur, dia mengatakan jumlahnya tak fantastis. “Tak perlu saya mencari-cari uang lagi, sebab kehidupan seperti ini sudah cukup,” katanya.

Dari kekayaan, kami kemudian bicara tentang hobi. “Saya tak memiliki banyak hobi. Hobi saya cuma mengendarai mobil,” katanya. Dia bilang mobilnya ada enam. “Semuanya dari hasil mengutang. Saya belinya kredit, sekarang tersisa dua lagi yang belum lunas kreditnya,” kata Irwandi. “Ada yang bilang mobil saya harganya Rp 2 miliar, itu Jeep Wrangler Robicon yang dibilang harganya segitu. Terlalu berlebihan menilai harga sebuah mobil ya.”

Benar, harganya memang kisaran ratusan juta. Saya kemudian menyinggung Jeep Hammer yang pernah dia setir di kota Jakarta. “Itu bukan mobil saya, itu punya si Rafli,” katanya. Rafli adalah temannya di Jakarta. “Biasanya memang saya suka menyetir itu ketika di Jakarta. Kan, ketika ke Aceh dia sering pakai mobil saya.”

***

Rokok yang terselib di bibirnya dihisapnya dalam-dalam. Saya baru saja bertanya kenangan masa kecilnya di Paya Kareung, Bireuen. Rupanya, saya telah mengusik sanubarinya dan membuat angannya melayang ke masa lalu. “Ketika saya baru bisa membaca, saya suka buka tong buku ayah saya,” katanya.

Lahir di Desa Sagoe, pada 2 Agustus 1960, Irwandi adalah sulung dari enam bersaudara dari pasangan Muhammad Yusuf dan Nafsiah Puteh. “Salah satu novel yang saya baca adalah menceritakan tentang anak yatim yang dipaksa mencari duit untuk ibunya yang pemadat.”

Novel itu membuatnya terhanyut dalam keseriusan yang ganjil. Suaranya mulai parau, dia memadamkan rokok ke dalam asbak di atas meja. Sempat saya lihat bulu-bulu halus di tengkuknya berdiri tegak. “Sedih sekali nasib anak yatim ya,” katanya. Dan.... Irwandi meneteskan airmata, hidungnya memerah. Ini jelas membuat saya terkejut sekaligus grogi, sebab selama ini saya mengenal Irwandi sebagai sosok yang keras dan tegas, bicara lugas bahkan cenderung tanpa “rem”.

Saya terusik, dan tak tahan untuk tak bertanya, “kenapa bersedih?” Ternyata cerita anak yatim dalam novel itu membawa fikirannya terbang ke Aceh. “Di sini banyak sekali anak-anak yatim, tentu mereka sedih sekali, kehidupan mereka sangat berat,” suaranya serak. “Semua itu karena konflik yang terjadi di Aceh. Saya tak pernah membunuh orang. Saya pernah menembak, tapi tak kena orang. Saya tahu itu.”

Irwandi membuka kacamata, mengambil dua lembar tisu, lalu mengusap matanya yang berair. Saya buru-buru memotong cerita, dan mengatakan, “tapi kan Abang tak hanya baca novel anak yatim itu, juga suka buku Singa Atjeh yang bercerita tentang Sultan Aceh, Iskandar Muda.”

Dan, Irwandi pun kembali ke gayanya lagi…. Bercerita penuh semangat. Sesekali ia tertawa lebar ketika mengenang masa kecilnya. Tak terasa, tiga jam berlalu. Pembicaraan kami selesai. Azan berkumandang dari masjid, pertanda panggilan Shalat Jumat. Kami pamit… []

***

1 komentar: