JAKARTA - Dukungan dari berbagai pihak di Jakarta terus mengalir kepada pasangan gubernur dan wakil Gubernur Aceh terpilih, dr Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf.
Dalam sepekan kunjungan mereka di Jakarta, pasangan ZIKIR diantaranya telah bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, yang juga Ketua Umum PAN, Hatta Radjasa, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, Ketua MPR RI Taufiq Kiemas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshidiqie, Panglima TNI Laksamana Agus Suahrtono, Kepala Badan Intelijen Negara, Letnan Jenderal Marciano Norman, dan Duta Besar Australia, Greg Moriarty.
Pengamat politik Fachry Ali menilai dukungan tersebut harus dijabarkan dalam bentuk stabilitas keamanan di Aceh, oleh pasangan pemimpin baru yang sudah terpilih.
“Akibat trauma konflik di masa lalu dan gangguan keamanan menjelang Pilkada di akhir dan awal tahun ini, yaitu 2011 dan 2012, maka yang menjadi kebutuhan dasar untuk orang Aceh adalah perdamaian. Sekarang ini, mau tidak mau yang mengontrol hampir seluruhnya secara tidak resmi adalah mereka berdua, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Timbul asumsi (dari pihak Jakarta) bahwa di bawah mereka itu lah keamanan bisa dikontrol,” ungkap Fachry Ali kepada The Atjeh Post, Rabu 25 April 2012.
Ditambahkan Fachry, faktor keamanan dijadikan standar bagi Aceh karena erat kaitannya dengan seluruh investasi, agar lebih pasti (predictable), baik yang berasal dari Aceh maupun dari luar Aceh.
“Ini pekerjaan rumah yang utama bagi mereka (Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf),” kata Fachry Ali, yang juga menjadi salah satu panelis dalam debat kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Julian Wilson, menilai bahwa Aceh harus lebih membuka diri dengan cara-cara pandang baru yang lebih luas, sehingga mudah dipahami oleh calon investor.
“Kadang-kadang ‘pesan’ yang disampaikan Aceh kepada investor asing itu ditanggapi secara negatif. Misalnya tentang larangan memakai celana panjang untuk perempuan. Kami bukannya tidak menghargai aturan lokal, tetapi hal-hal semacam ini membuat Aceh terasing akibat ‘brand’ (merk) yang keliru dari aturan-aturan itu, yang sempat menjadi headline di banyak media internasional,” kata Wilson.
Fachry Ali berpendapat, aturan-aturan demikian akan hilang sendirinya, cepat atau lambat, seiring dengan proses modernisasi dan perkembangan ekonomi.
“Fokus perhatian masyarakat nanti pada perkembangan ekonomi. Memang pada waktu debat pasangan ZIKIR tidak menekankan pada poin yang saya sampaikan sekarang. Saat debat pendapat mereka standar saja. Tetapi kelebihannya ada pada otoritas yang mereka miliki,” kata Fachry Ali.[]
Dalam sepekan kunjungan mereka di Jakarta, pasangan ZIKIR diantaranya telah bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, yang juga Ketua Umum PAN, Hatta Radjasa, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, Ketua MPR RI Taufiq Kiemas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshidiqie, Panglima TNI Laksamana Agus Suahrtono, Kepala Badan Intelijen Negara, Letnan Jenderal Marciano Norman, dan Duta Besar Australia, Greg Moriarty.
Pengamat politik Fachry Ali menilai dukungan tersebut harus dijabarkan dalam bentuk stabilitas keamanan di Aceh, oleh pasangan pemimpin baru yang sudah terpilih.
“Akibat trauma konflik di masa lalu dan gangguan keamanan menjelang Pilkada di akhir dan awal tahun ini, yaitu 2011 dan 2012, maka yang menjadi kebutuhan dasar untuk orang Aceh adalah perdamaian. Sekarang ini, mau tidak mau yang mengontrol hampir seluruhnya secara tidak resmi adalah mereka berdua, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Timbul asumsi (dari pihak Jakarta) bahwa di bawah mereka itu lah keamanan bisa dikontrol,” ungkap Fachry Ali kepada The Atjeh Post, Rabu 25 April 2012.
Ditambahkan Fachry, faktor keamanan dijadikan standar bagi Aceh karena erat kaitannya dengan seluruh investasi, agar lebih pasti (predictable), baik yang berasal dari Aceh maupun dari luar Aceh.
“Ini pekerjaan rumah yang utama bagi mereka (Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf),” kata Fachry Ali, yang juga menjadi salah satu panelis dalam debat kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Julian Wilson, menilai bahwa Aceh harus lebih membuka diri dengan cara-cara pandang baru yang lebih luas, sehingga mudah dipahami oleh calon investor.
“Kadang-kadang ‘pesan’ yang disampaikan Aceh kepada investor asing itu ditanggapi secara negatif. Misalnya tentang larangan memakai celana panjang untuk perempuan. Kami bukannya tidak menghargai aturan lokal, tetapi hal-hal semacam ini membuat Aceh terasing akibat ‘brand’ (merk) yang keliru dari aturan-aturan itu, yang sempat menjadi headline di banyak media internasional,” kata Wilson.
Fachry Ali berpendapat, aturan-aturan demikian akan hilang sendirinya, cepat atau lambat, seiring dengan proses modernisasi dan perkembangan ekonomi.
“Fokus perhatian masyarakat nanti pada perkembangan ekonomi. Memang pada waktu debat pasangan ZIKIR tidak menekankan pada poin yang saya sampaikan sekarang. Saat debat pendapat mereka standar saja. Tetapi kelebihannya ada pada otoritas yang mereka miliki,” kata Fachry Ali.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar