Rabu, 25 April 2012

Hasan Tiro, Sebilah Rencong dan Boh Manok Kom

 “Lon deungo na yang meuneuk woe gampong. Boh manok kom mandum gata nyoe. Soe kirem boh manok kom keunoe (saya dengar ada yang mau pulang kampung. Telur busuk anda semua. Siapa yang mengirimkan telur busuk ke sini),” ujar Hasan Tiro dengan nada tinggi. Hening. Semua terdiam sambil menundukkan kepala. Rencana pulang pun batal. ***


Suatu hari pada September 1998, di pertengahan musim gugur, seorang lelaki muda keluar dari lambung pesawat yang baru mendarat di bandara Arlanda, Stockholm, Swedia. Lelaki berperawakan kecil dan berkulit putih itu baru saja tiba dari Malaysia. Muzakir Abdul Hamid, lelaki itu, adalah salah satu pemuda Aceh yang mendapat suaka politik ke Swedia dari UNHCR, lembaga PBB yang menangani urusan pengungsi.

Mereka dikejar-kejar pemerintah Malaysia karena menjadikan negara itu sebagai basis gerakan baru setelah diburu tentara di Aceh. Sempat menetap di luar kota Stockholm, pada tahun 2000 ia pindah ke pusat kota. Tinggal di sebuah rumah yang berjarak 15 kilometer dari rumah Hasan Tiro, sejak itu Muzakir menghabiskan hari-harinya bersama wali nanggroe.

Sebelas tahun menemani Hasan Tiro sebagai staf khusus, ia merekam banyak hal tentang keseharian Wali. Setiap hari, Hasan Tiro memulai hari dengan menganyuh sepeda fitness di apartemennya. Usai mandi, Wali memulai sarapan sambil membaca koran Internasional Herald Tribune langganannya dan berlanjut dengan menonton saluran televisi berita internasional seperti CNN dan BBC.

Setelah itu, dengan berpakaian rapi setelan lengkap, barulah ia menuju meja kerjanya. Di waktu senggang, Hasan Tiro menikmati lantunan musik klasik semisal gubahan Johann Sebastian Bach, Beethoven. Muzakir mengenangnya sebagai pribadi yang bersahaja. Saking bersahajanya, seluruh perabotan di apartemennya, termasuk sebuah televisi tua, tak pernah berganti.

Pernah Muzakir dan Dokter Zaini pernah mencoba menawarkan untuk menggantinya dengan perabotan baru. “Tapi beliau diam saja, tidak menjawab. Kalau sudah begitu, kita pasti tidak berani bertanya lagi,” ujar Muzakir.

Di mata Muzakir, Hasan Tiro tak hanya teguh pendirian, namun juga memperhatikan sesuatu sedetail mungkin. Sampai-sampai, dekorasi rumahnya pun ditata sendiri. “Beliau memperhatikan sesuatu secara detail. Bahkan terkadang lebih halus dari perempuan,” ujar Muzakir.

Hasan Tiro adalah seorang lelaki yang perfeksionis hingga akhir hayatnya. Muzakir ingat benar ketika suatu hari ia diminta mengetik surat untuk dikirimkan kepada beberapa lembaga asing untuk mengkampanyekan perjuangan Aceh. Ternyata, dari sejumlah kalimat yang disusun, ada satu kata yang kelebihan huruf. “Saya lupa kata-kata persisnya, tapi karena satu huruf yang salah itu, saya harus mengetik ulang surat itu,” ujar Muzakir.

Begitu pula soal kerapian. Di lain waktu, Muzakir kebagian tugas menjilid kumpulan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Aceh. Usai dijilid, Muzakir lantas menyerahkan dokumen itu kepada Wali. Usai membolak-balik, Hasan Tiro mengembalikannya sambil berujar,”jilid ulang, ini tidak benar.” Selidik punya selidik, rupanya salah satu halaman kumpulan dokumen itu dijilid dengan posisi agak miring. Akhirnya, dokumen itu pun dibongkar dan jilid ulang.

Masih ada cerita lain soal kerapian. Ketika perundingan Jenewa tahun 2002 lalu, Hasan Tiro datang ke sana memantau jalannya perundingan. Salah seorang delegasi yang datang dari Aceh membuatnya naik darah. Gara-garanya, sang anggota delegasi tidak memakai dasi dalam pertemuan formal di meja perundingan. Wali pun langsung menarik kerah baju si anggota delegasi itu.

“Nyoe han jeuet lagee nyoe, tanyoe ureueng Aceh harus ta kalon pakiban adat berhubungan dengan ureueng luwa (ini tidak boleh begini, kita orang Aceh harus melihat dan mengetahui bagaimana adat berhubungan dengan orang luar),” hardik Hasan Tiro kepada delegasi dari Aceh itu.

Hubungan dengan dunia luar memang mendapat perhatian khusus dari Hasan Tiro. Itu sebabnya, kepada setiap tamu yang datang dari Aceh, ia selalu menekankan pentingnya menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Logikanya, tak mungkin membangun hubungan dengan dunia luar jika soal bahasa saja tak dikuasai. Tak heran, kalau ada tamu yang datang biasanya dites dulu untuk membaca tulisan dalam Bahasa Inggris.

Pernah suatu ketika datang orang dari Aceh dan mengaku bisa bahasa Inggris. Tapi, ternyata, setelah dites, dia membaca dengan tersendat-sendat. “Wali langsung mengangkat kacamata dan menatapnya lekat-lekat sebagai bentuk protes,” kenang Muzakir.

Hasan Tiro juga dikenal tegas dan punya disiplin tinggi. Untuk memompa semangat pengikutnya, terkadang Wali harus menunjukkan sikap tak pilih kasih. Ada satu kejadian yang masih dikenang Muzakir saat ikut pelatihan militer di Libya pada 1990.

Ketika itu, rupanya peserta pelatihan tidak tahan dengan kerasnya didikan di kamp Tajura. Lalu, beredarlah desas-desus sebagian peserta pelatihan berniat pulang kampung. Kabar itu sampai ke telinga Hasan Tiro, maka murkalah dia.

Malamnya, seluruh peserta pelatihan dikumpulkan. Beliau lalu berpidato sambil menjatuhkan sebilah rencong di tangannya

“Lon deungo na yang meuneuk woe gampong. Boh manok kom mandum gata nyoe. Soe kirem boh manok kom keunoe (saya dengar ada yang mau pulang kampung. Telur busuk anda semua. Siapa yang mengirim telur busuk ke sini),” ujar Hasan Tiro dengan nada tinggi. Hening. Semua terdiam sambil menundukkan kepala. Rencana pulang pun batal.

Soal kebiasaannya membawa rencong, menurut Muzakir, adalah cara Hasan Tiro menjaga semangat. Di lain waktu, jika sedang meradang, Tengku Hasan akan mengambil rencong lalu menaruhnya di meja. “Tujuannya untuk menaikkan semangat. Karena semangatlah yang menentukan maju mundurnya sebuah bangsa”.

Photobucket

Hasan Tiro juga kerap meradang jika kerjaan stafnya tak sesuai harapan. Namun, hm... rupanya Muzakir dan sejumlah keluarga Aceh di Swedia menyimpan kiat untuk menjinakkan amarah Wali. Caranya, ketika melihat wajah Wali sedang tegang, mereka buru-buru pulang ke rumah. Sesaat kemudian sudah balik lagi sambil menggendong anak kecil. Dan, ketika melihat bocah wajah Wali yang masam menjadu manis.

Lalu Hasan Tiro larut dalam candaan bersama anak kecil. “Mungkin beliau teringat anak dan cucunya yang berpisah sejak kecil,” ujar Muzakir sambil tersenyum.

Kita tahu, ketika memutuskan pulang ke Aceh untuk angkat senjata pada Oktober 1976, Hasan Tiro meninggalkan istri dan anak semata wayangnya Karim Tiro yang masih berusia enam tahun di Amerika Serikat. Ia memilih naik gunung dan mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976.

Keluar masuk hutan sejak kurun 30 Oktober 1976, dia hengkang ke Malaysia pada 29 Maret 1979. Sempat singgah di sejumlah negara, ia mendapat suaka politik di Swedia.

Di negara Skandinavia ini juga dia mengantong kewarganegaraan.

Pengalaman tiga tahun di belantara Aceh dituangkannya dalam buku catatan harian berjudul The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan Tiro.

Sejak itu, Hasan Tiro membentuk pemerintahan di pengasingan.

Sebagai Presiden ASNLF (Aceh Sumatra National Liberation Front), dia melanjutkan perjuangan dari Norsborg, Stockholm, hingga akhirnya memutuskan berdamai dengan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005. Banyak pihak yang tak percaya dengan keputusan itu.

Tak sedikit pula yang menduga keputusan berdamai bukan datang dari Hasan Tiro melainkan dari Mentroe Malik dan Dokter Zaini.

Kecurigaan itu terbantahkan ketika Wali Nanggroe akhirnya memutuskan pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Di halaman masjid Raya Banda Aceh, Hasan Tiro meminta masyarakat Aceh menjaga perdamaian yang telah dicapai demi masa depan rakyat Aceh.

Sayang, Wali tak sempat berlama-lama menetap di negeri yang diperjuangkan lebih separuh usianya. Pada 3 Juni 2010, malaikat menjemputnya di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, 3 Juni 2010.

Ia pergi dalam sunyi: tanpa didampingi istri dan anaknya Karim Tiro. Ia pergi dengan meninggalkan perdamaian.

“Wali tahu kapan kita berdamai dan kapan kita harus berperang. Damai yang sudah ada sekarang mesti kita pelihara. Ini amanah wali yang mesti kita jalankan,” ujar Dokter Zaini.

Masa-masa perjuangan bersenjata memang telah menjadi masa lalu dalam sejarah Aceh. Hasan Tiro, sang mahaguru Aceh, tentu tak ingin pengorbanannya mengangkat derajat Aceh sia-sia.

Itu sebabnya, kepada pengikutnya, ia berpesan,” While man powerless to change his past, he still the master of his future. Because his future is largely determined by his present intention and action."

"Seseorang masih tetap sebagai pemilik masa depannya, sekalipun dia gagal dalam meraih dan menggenggam masa lalu. Karena masa depannya ditentukan oleh aksinya hari ini."

Catatan: artikel ini telah dimuat Tabloid Beranda, Edisi III, Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar