Jumat, 20 April 2012

Kekayaan Aceh di Rampas Perusahaan Asing


Seandainya Sultan Iskandar Muda masih ada, entah air mata apa yang akan dijatuhkan ke atas Bumi Aceh. Sejak tahun 1970-an, Masyarakat Aceh tidak pernah merasakan kebahagiaan yang sama dengan apa yang telah dinikmati oleh propinsi lain di seluruh Indonesia, akibat pertikaian yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintahan pusat, pembunuhan, pemerkosaan, hingga munculnya tsunami yang menghancurkan Bumi Aceh dan membunuh ratusan ribu rakyat tak berdosa.


Saat ini kita tentu tidak bicara tentang bagaimana pasir kuarsa Riau dijual di bawah US 2 permeter kubik kepada negara Singapura. Kita juga tidak bicara tentang Pulau Kalimantan, jagad rayanya mineral dan energi, pemilik salah satu deposit karbon terbesar di dunia yang kekayaan tambangnya telah dikerok habis oleh Exxon, Chevron, Bumi dan perusahaan-perusahaan afiliasi zionis lainnya.




Kita juga tidak membahas tentang ratusan ton emas yang dikeruk NHM di Maluku Utara, anehnya propinsi ini disebut-sebut sebagai salah satu propinsi paling tertinggal di Indonesia. Dan Kita tidak bicara tentang Wakatobi, pusat karang dunia terindah yang mengalahkan Great Barrier Reef di Australia dan Blue Hole yang ajaib di Belize, namun pemerintah bahkan tidak bisa menunjukkan di mana Kepulauan Wakatobi di dalam peta.


Akan tetapi mari sejenak kita luangkan waktu kita untuk melihat daerah yang terletak paling barat wilayah Indonesia, yaitu Aceh. Hal penting untuk kita ketahui adalah Aceh merupakan daerah yang menyimpan berbagai Sumber Daya Alam (SDA) dengan kapasitas super besar.


Seperti, Potensi minyak hidrokarbon di timur laut Simeulue diperkirakan mencapai 320 miliar barrel, jauh di atas cadangan minyak Arab Saudi yang hanya memiliki volume 264 miliar barrel. Selain itu terdapat potensi tenaga panas bumi di Jaboi, Sabang, serta emas, tembaga, timah, kromium dan marmer di Pidie. Perut bumi Aceh juga menyimpan tembaga alam seperti Native Cupper, Cu, Chalcopirit, Bornit, Chalcosit, Covellit dan biji tembaga berkadar tinggi lainnya.


Minyak dan gas bumi adalah mantera paling ampuh untuk mendatangkan Pelacur Dunia Amerika dan sekutu-sekutu dan memasukkan kapal-kapal tanker ke Aceh tanpa alasan yang tentu saja diboncengi dengan kepentingan tertentu.


Anehnya, dengan kehadiran perusahaan besar di Aceh tidak bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, masih banyak masyarakat aceh yang hidup dibawah garis kemiskinan. Seharusnya dengan kehadiran perusahaan-perusahaan besar, seperti perusahaan minyak dan gas di aceh, meningkatkan perekonomian dan mengurangi pengangguran masyarakat Aceh.


Seperti halnya di daerah Aceh Utara dan Lhokseumawe, di daerah tersebut terdapat lima perusahaan bonafit atau perusahaan besar yang berskala internasional, seperti perusahaan PT. Arun LNG, Exxon Mobil, PT. Pim, PT. Asean dan PT. KKA. Maka daerah itu pun dikenal sebagai daerah kota Petro dolar.



Hampir rata-rata provinsi lainnya di seluruh Indonesia mengenal kota Petro dolar, apa lagi seperti di daerah Medan, nama kota Petro dolar sudah tidak asing lagi di indera dengar masyarakat disana. Banyak masyarakat kota Medan berfikir bahwa mereka yang berada di kota Petro dolar rata-rata adalah orang mempunyai duit banyak dan hidup nya sejahtera.


Daerah aceh yang sangat dikenal oleh masyarakat di medan adalah kota petro dolar bukan kota Banda Aceh, namun sayang kondisi yang sebenarnya jauh berbanding terbalik. Masih banyak masyarakat kota Petro dolar yang hidup dibawah garis kemiskinan.


Seperti di daerah Matang kuli kecamatan Pirak Timu kabupaten Aceh Utara, kondisi kehidupan masyarakat disana sungguh sangat memprihatinkan karena masyarkat disana tidak bisa mengakses air bersih, kondisi jalan di gampong tersebut sangat rusak parah, bahkan pada saat hujan turun tidak sedikit para pengguna sepeda motor yang jatuh ketika melintas jalan tersebut.


Padahal Kecamatan Pirak Timu sangat dekat dengan perusahaan raksasa, yaitu Exxon Mobil. Kondisi permukiman disekitar perusahaan paman sam tersebut sangat berbanding terbalik. Namun sayang masyarakat sekitar hanya duduk manis memandang perusahaan kapitalis tersebut. Seharusnya kondisi masyarakat disekitar perusahaan tidak seperti itu dan kondisinya harus lebih baik, ternyata dengan kehadiran perusahaan tidak berdampak baik terhadap masyarakat.


Hal senada juga terjadi di daerah pesisir Hagu Selatan kota Lhokseumawe, kondisi perumahan penduduk disana sudah tidak layak huni. Dulunya daerah tersebut pernah diterpa abrasi, sehingga sampai sekarang masyarakat disana hidup ala kadarnya. Bahkan disetiap rumah penduduk tidak ada tempat untuk keperluan Mandi Cuci Kakus (MCK).


Sehingga masyarakat membuang hajat di pinggir laut, apabila malam hari masyarakat membuang hajat di plastic kresek dan kemudian melempar ke laut. Padahal kalau kita melihat bahwa gampong Hagu selatan sangat dekat dengan Perusahaan PT. Arun LNG.


Seharusnya pemerintah Aceh dan Pemerintah daerah dapat membuat suatu aturan terhadap perusahaan raksasa yang ada di aceh, sehingga jelas berapa banyak jumlah hasil sumber daya alam (SDA) bumi Aceh yang telah diambil dan pembagian hasil untuk daerah pun bisa jelas, kalau seperti saat ini kita tidak mengetahui berapa persen pembagian untuk daerah dari jumlah hasil SDA Aceh yang telah diambil.


Penulis berharap, kedepannya pemerintah Aceh dan Pemerintah Daerah dapat melakukan nasionalisasi asset terhadap perusahaan-perusahaan asing yang ada di aceh. Karena apabila terjadinya nasionalisasi asset asing maka kewenangan sepenuhnya berada di tanggan kita dan tidak ada campur tangan asing.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar