Jumat, 20 April 2012

Aceh di Mata P.J Veth



    “Yang paling mengagumkan dari semua contoh pemerintahan di nusantara adalah terdapat di Kerajaan Aceh Sumatera, suatu kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat penting dalam sejarah...” (P J Veth)


Oleh Iskandar Norman (*

Menurut sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Sultanah Safiatuddin Syah yang dibukukan bersama tulisan para sejarawan lainnya tentang pemerintahan sultanah di Aceh dalam Prominent Woment in The Glimpse of History. Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian dari para penulis sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P. J Veth, seorang profesor dalam etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.

Pada tahun 1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalam “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” tulisan itu dipublikasikan dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie.

Veth mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan adanya figur wanita yang memerintah di Nusantara. Meskipun demikian, ia dapat juga menemukan beberapa kasus serupa itu, yaitu yang bersangkutan dengan pengaruh yang menentukan dari pemerintahan kaum wanita atas sebuah kerajaan. Salah satu kasus terpenting yang menarik perhatiannya adalah yang ada di Aceh.

Di kerajaan Aceh yang menarik perhatiannya itu Veth menemukan adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (ratu atau sultanah) secara berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M.

Sultanah pertama yang memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam adalah Taj al-Alam atau Tajul Alam Safiatuddin Syah. Wanita ini memerintah tahun 1641 hingga 1675 M, merupakan putri tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Menurut N J Ryan dalam Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, terbitan Oxford University Press, 1966, Suami Sultanah Safiatuddin bernama Sultan Bungsu atau Sultan Mogul, putra Sulthan Pahang, Semenanjung Tanah Melayu. Sultan Ini dibawa ke Aceh pada tahun 1617 sewaktu Kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Pahang.

Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, ia diangkat oleh para pembesar kerajaan menjadi sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani. Sultan ini meninggal pada 15 Februari 1641 setelah menduduki singgasana selama 5 tahun. Dan, tiga hari sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Putri Sri Alam Permaisuri, menjadi sultanah.

Kembali ke Veth dalam tulisannya ia menjelaskan, menjelang penobatan Sultanah Safiatuddin, timbul sedikit pertentangan di kalangan pembesar Kerajaan Aceh. Hal ini, antara lain, karena Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan ada pula yang mempermasalahkan soal kelayakan perempuan dalam kedudukan sebagai seorang raja. Alasannya, pengangkatan perempuan sebagai raja bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, menurut tafsiran pihak yang kemudian tersebut, jangankan menjadi pria, menjadi imam dan menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.

Untuk memecahkan kebuntuan, dilakukanlah musyawarah kerajaan. Dalam musyawarah itu, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu, Teungku Abdurrauf dari Singkil yang menyarankan pemisahan antara urusan agama dengan urusan pemerintahan, maka diangkatkan Safiatuddin sebagai sultanah Aceh dengan gelar Seri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah, Fil- alam ibnat Sultan Raja Iskandar Muda Johan Berdaulat.

Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa 35 tahun itu merupakan masa yang relatif lama. Hal itu pastilah tidak akan terlaksanakan apabila tidak diikuti oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan dan keluarbiasaan yang dimilikinya. Lebih-lebih, pada periode itu Kerajaan Aceh berada dalam keadaan krisis akibat kemampuan perang yang dimilikinya sudah melemah sepeninggalan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin syah sebagai sultanah.

Sultanah yang Taat

Syeh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin mengambarkan kepemimpinan Sultanah Safiatudin Syah sebagai seorang yang sangat taat kepada agama. "…Bahwa adalah bagi Duli Hadharat tuan kita Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zil Allah Fil-alam itu sifat yang kepujian, dan perangai yang kebajikan, lagi takut akan Allah senantiasa dengan membaca kitab Allah dan menyuruhkan orang berbuat kebajikan-kebajikan dan melarangkan orang berbuat kejahatan…"

Pada gilirannya, bagi Ar-Raniri, kualifikasi tersebut menjadi faktor yang sangat menentukan bagi bertahannya Sultanah Safiatuddin Syah sebagai ratu dalam waktu yang lama. "… ialah yang sangat tawaqhurnya akan Allah SWT maka dianugerahi Allah akan dia lama menyunjung khalifahnya. Dan pada masanyalah mendapat beberapa galian emas, perbendaharaan Allah SWT, pada segala gunung yang tiada terkira banyaknya. Dan ialah mengeraskan shariat Nabi Muhammad Rasulullah. Maka adalah lama paduka Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah berdaulat zil Allah Fil-Alam di atas tahta kerajaan tiga puluh lima tahun delapan bulan dua puluh enam hari kemudian dari itu maka baginda pun kembalilah ke rahmat Allah…"�.

Hal yang sama juga ditulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Dalam buku ini Lombard menulis bahwa Sultanah Safiatuddin Syah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahannya, masalah-masalah pendidikan keagamaan, dan perekonomian. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusiasme yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat.

Photobucket
    “Yang paling mengagumkan dari semua contoh pemerintahan di nusantara adalah terdapat di Kerajaan Aceh Sumatera, suatu kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat penting dalam sejarah...” (P J Veth)

Oleh Iskandar Norman (*

Menurut sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Sultanah Safiatuddin Syah yang dibukukan bersama tulisan para sejarawan lainnya tentang pemerintahan sultanah di Aceh dalam Prominent Woment in The Glimpse of History. Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian dari para penulis sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P. J Veth, seorang profesor dalam etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.

Pada tahun 1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalam “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” tulisan itu dipublikasikan dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie.

Veth mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan adanya figur wanita yang memerintah di Nusantara. Meskipun demikian, ia dapat juga menemukan beberapa kasus serupa itu, yaitu yang bersangkutan dengan pengaruh yang menentukan dari pemerintahan kaum wanita atas sebuah kerajaan. Salah satu kasus terpenting yang menarik perhatiannya adalah yang ada di Aceh.

Di kerajaan Aceh yang menarik perhatiannya itu Veth menemukan adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (ratu atau sultanah) secara berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M.

Sultanah pertama yang memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam adalah Taj al-Alam atau Tajul Alam Safiatuddin Syah. Wanita ini memerintah tahun 1641 hingga 1675 M, merupakan putri tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Menurut N J Ryan dalam Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, terbitan Oxford University Press, 1966, Suami Sultanah Safiatuddin bernama Sultan Bungsu atau Sultan Mogul, putra Sulthan Pahang, Semenanjung Tanah Melayu. Sultan Ini dibawa ke Aceh pada tahun 1617 sewaktu Kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Pahang.

Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, ia diangkat oleh para pembesar kerajaan menjadi sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani. Sultan ini meninggal pada 15 Februari 1641 setelah menduduki singgasana selama 5 tahun. Dan, tiga hari sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Putri Sri Alam Permaisuri, menjadi sultanah.

Kembali ke Veth dalam tulisannya ia menjelaskan, menjelang penobatan Sultanah Safiatuddin, timbul sedikit pertentangan di kalangan pembesar Kerajaan Aceh. Hal ini, antara lain, karena Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan ada pula yang mempermasalahkan soal kelayakan perempuan dalam kedudukan sebagai seorang raja. Alasannya, pengangkatan perempuan sebagai raja bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, menurut tafsiran pihak yang kemudian tersebut, jangankan menjadi pria, menjadi imam dan menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.

Untuk memecahkan kebuntuan, dilakukanlah musyawarah kerajaan. Dalam musyawarah itu, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu, Teungku Abdurrauf dari Singkil yang menyarankan pemisahan antara urusan agama dengan urusan pemerintahan, maka diangkatkan Safiatuddin sebagai sultanah Aceh dengan gelar Seri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah, Fil- alam ibnat Sultan Raja Iskandar Muda Johan Berdaulat.

Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa 35 tahun itu merupakan masa yang relatif lama. Hal itu pastilah tidak akan terlaksanakan apabila tidak diikuti oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan dan keluarbiasaan yang dimilikinya. Lebih-lebih, pada periode itu Kerajaan Aceh berada dalam keadaan krisis akibat kemampuan perang yang dimilikinya sudah melemah sepeninggalan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin syah sebagai sultanah.

Sultanah yang Taat

Syeh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin mengambarkan kepemimpinan Sultanah Safiatudin Syah sebagai seorang yang sangat taat kepada agama. "…Bahwa adalah bagi Duli Hadharat tuan kita Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zil Allah Fil-alam itu sifat yang kepujian, dan perangai yang kebajikan, lagi takut akan Allah senantiasa dengan membaca kitab Allah dan menyuruhkan orang berbuat kebajikan-kebajikan dan melarangkan orang berbuat kejahatan…"

Pada gilirannya, bagi Ar-Raniri, kualifikasi tersebut menjadi faktor yang sangat menentukan bagi bertahannya Sultanah Safiatuddin Syah sebagai ratu dalam waktu yang lama. "… ialah yang sangat tawaqhurnya akan Allah SWT maka dianugerahi Allah akan dia lama menyunjung khalifahnya. Dan pada masanyalah mendapat beberapa galian emas, perbendaharaan Allah SWT, pada segala gunung yang tiada terkira banyaknya. Dan ialah mengeraskan shariat Nabi Muhammad Rasulullah. Maka adalah lama paduka Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah berdaulat zil Allah Fil-Alam di atas tahta kerajaan tiga puluh lima tahun delapan bulan dua puluh enam hari kemudian dari itu maka baginda pun kembalilah ke rahmat Allah…"�.

Hal yang sama juga ditulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Dalam buku ini Lombard menulis bahwa Sultanah Safiatuddin Syah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahannya, masalah-masalah pendidikan keagamaan, dan perekonomian. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusiasme yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar