Jumat, 27 April 2012

Melihat Aceh Dari Nisam

Jalan aspal anyar berakhir 2 kilometer menjelang batas Desa Blang Pohroh, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara, digantikan batu dan tanah berlumpur. Beberapa rumah baru dari tembok berdiri megah, kontras dengan deretan rumah kayu lapuk dan kedai kopi berjelaga.

Jalan aspal yang hanya sepotong itu seperti sengaja hendak melestarikan suasana Nisam masa lalu. Pada masa perang, Nisam memang sulit terjamah pihak luar. Kondisi geografis yang berbukit dan berbatas Hutan Leuser, berada di persimpangan Gayo-Bireuen-Aceh Utara dan memiliki banyak jalan tikus, menjadikan Nisam basis perlawanan yang kuat. Besarnya dukungan warga menguatkan strategi gerilya Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Nisam pernah menjadi ”rumah aman” bagi GAM. Beberapa pertemuan politik, konsolidasi kekuatan, hingga pesta pernikahan petinggi GAM pernah digelar di sana. Di kawasan itu, GAM membangun penjara dan menempatkan tawanan perang. TNI menandai Nisam dengan tanda merah. Beberapa kali, pada masa darurat militer, daerah itu dibombardir melalui pesawat terbang dan helikopter. Ribuan warga mengungsi. Namun, Nisam sulit ditaklukkan.

”Daripada mati orang besar, biarlah kami yang mati,” kata Anwar (28), mantan anggota pasukan GAM dari Nisam. Anwar menjadi tentara GAM ketika berumur 16 tahun dan separuh hidupnya nyaris habis untuk berperang. Nama pasukannya Singa Meranti. Beranggotakan delapan orang, dengan lima senjata dan radio komunikasi.

”Kami disumpah untuk berperang sampai Aceh merdeka. Walaupun setelah damai kami ditinggalkan,” katanya.

Dengan berbisik, beberapa orang di kedai kopi mengatakan, rumah tembok yang baru dibangun di Nisam dimiliki mantan petinggi GAM. Juga mobil-mobil baru, seperti Toyota Fortuner, yang siang itu melintas cepat di jalan berlumpur. ”Itu mobil mantan panglima sagoe (wilayah) GAM,” kata seorang warga.

Anwar dan warga Nisam tetap setia, setidaknya hingga pemilihan umum kepala daerah pada 2007. Dukungan masyarakat Nisam yang pejal berhasil menyukseskan putra daerah itu, yaitu mantan petinggi GAM Tengku Ilyas A Hamid atau dikenal Ilyas Pase, menjadi Bupati Aceh Utara.

Harapan dan kenyataan

Sebagai kampung halaman bupati dan memiliki riwayat panjang dalam mendukung GAM, masyarakat Nisam berharap kemajuan datang cepat. ”Setelah puluhan tahun, memang ada sedikit kemajuan. Ada jalan aspal walaupun hanya 4 kilometer,” kata Abdullah AR, mantan Kepala Mukim Nisam Antara. ”Padahal, di papan proyek ditulis panjang aspal 14 kilometer,” ujarnya.

Beberapa warga mengatakan, kontraktor proyek itu banyak diperas. ”Itulah sebabnya proyek-proyek jalan berhenti di Nisam. Selain juga memang ada kontraktor nakal,” kata Abdullah. Apa pun alasannya, rakyat Nisam yang menjadi korban.

Keuchik Seumirah, Mawardi, mengatakan, kehidupan ekonomi warga masih mandek. Harga pinang, yang menjadi komoditas andalan warga, masih tetap rendah. Mahalnya biaya angkutan akibat buruknya jalan menyebabkan pedagang mematok harga rendah. ”Ibaratnya, bawa pinang satu karung ke pasar, pulang bawa beras dua bambu,” katanya.

Kompensasi korban perang juga hanya mengalir ke sedikit orang. ”Saya belum mendapat kompensasi apa pun. Padahal, pernah ditahan tiga bulan. Gubuk saya dibakar,” kata Abdullah.

Bantuan lahan 2 hektar juga hanya dinikmati sedikit orang. ”Yang mengelola orang itu,” katanya. ”Orang Nanggroe (baca: mantan GAM). Yang bisa dapat bantuan itu hanya yang kuat berebut. Mana sanggup kami,” lanjutnya.

Salahudin (30), mantan penyuplai logistik GAM di Nisam Antara, mengaku hanya mendapat santunan Rp 500.000. Uang itu pun segera ludes dan kini ia menjadi buruh tani dengan penghasilan tak tetap. Salahudin pernah ditangkap Brimob tahun 2002.

”Saya disiksa. Sangkur yang dibakar ditempelkan ke punggung saya,” kata Salahudin, sambil menunjukkan bekas luka permanen itu. Bahkan, tak semua mantan anggota GAM mendapat bantuan. Anwar mengaku belum mendapat bantuan sedikit pun. ”Tak ada sepeser pun,” katanya.

Di tengah kegalauan itu, warga Nisam harus menerima kenyataan bahwa Ilyas Pase menjadi tersangka korupsi pembobolan kas daerah Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar dari Rp 670 miliar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Utara. Akibatnya, kabupaten itu nyaris bangkrut dan kesulitan membayar gaji pegawai.

”Orang itu (Ilyas Pase) termasuk yang dulu kami lindungi. Namun, setelah jadi bupati, mana mau kenal lagi sama kami. Dia sekarang tersangka, kami tak mau ikut campur,” kata Anwar.

Muhammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, mengakui ada kesenjangan antara panglima GAM dan anak buah serta rakyat di lapangan. ”Itu kondisi normal di daerah pascakonflik, seperti di Timor Leste atau Afrika,” kata Nazar, yang juga mantan Ketua Divisi Pemerintahan dan Politik GAM. Menurut dia, pemerintah Aceh terus berupaya agar dana reintegrasi dibagi adil.

Uang dan perdamaian

Nisam menjadi potret senjangnya kenyataan dan harapan masyarakat di Aceh. Data Badan Pusat Statistik tahun 2010 menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin ketujuh di Indonesia. Sebanyak 20,98 persen dari total 4.486.570 penduduk dikategorikan miskin. Angka ini berada di bawah rata-rata persentase nasional yang berkisar pada angka 13,33 persen.

Lima tahun lebih sejak perdamaian, pembangunan terkesan hanya menguntungkan sedikit golongan. Padahal, provinsi ini tergolong yang paling banyak menerima dana, mulai dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana otonomi khusus, dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dana rehabilitasi dan rekonstruksi, bantuan luar negeri melalui multidonor fund, serta dana reintegrasi. Total dana sekitar Rp 10 triliun per tahun.

Survei barometer korupsi Aceh oleh Transparency International Indonesia pada Juni 2010 menjelaskan mengapa uang yang sedemikian besar itu belum bisa memakmurkan rakyat. Mayoritas warga Aceh yang jadi responden survei (51 persen) menyebutkan, korupsi di Aceh semakin parah setelah tsunami.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar