Minggu, 29 April 2012

Sultan yang Terlupakan

Oleh M Adli Abdullah
Baru baru ini, 21 April 2012,  penulis bersama Abdurahman SH MH (sekretariat Majelis Adat Aceh), Dr Suhaimi SH MH  (staf pengajar Fakultas Hukum Unsyiah) didampingi oleh Murizal Hamzah (wartawan), menziarahi makam Sultan Aceh, Muhammad Daud  Bin Tuanku Zainal Abidin  Alaiddin Syah (1878-1939). Sultan ini rela mengorbankan dirinya demi  marwah bangsanya dan tidak mau tunduk kepada penjajah, sehingga Sultan Aceh ini  diasingkan oleh Belanda. Dia diasingkan  bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim berserta kerabat istana lainnya pada tahun 1907. Sultan  meninggal dalam buangan pada hari Denin, 6 Februari 1939, dan dimakamkan di Utan Kayu, Rawamangun,  Jakarta.

Tiba di sana pukul 12.00 WIB, kami langsung menuju kantor Taman Pemakaman Umum Utan Kayu. Kantor ini mengelola ribuan makam kaum muslimin lainnya yang dikebumikan  di TPU Utan Kayu.  Luasnya mencapa 10 hektare. Tanpa ada penunjuk jalan,  agak susah  dapat   menemukan makam Sultan Muhammad Daud, karena tidak ada tanda-tanda istimewa bahwa di situ tempat peristirahatan terakhir  Sultan Aceh tersebut (1878-1939).

Salah satu penjaga makam  TPU Utan Kayu, Surya (35),  yang bertindak sebagai penunjuk jalan,  membawa kami  ke makam yang terletak di sebelah kiri jalan taman. Jauhnya sekitar 100 meter dari kantor TPU. Kondisi makamnya sudah  hampir tenggelam,  hilang ditelan zaman. Penjaga makam pun tidak tahu siapa yang dimakamkan di sana. Setelah saya bersihkan dan menggali tanah sedikit,  akhirnya muncul siapa sebenarnya pemilik makam tersebut, yaitu Habib Ahmad, Potjoet Gambar Gading (istri Sultan) dan  Tuanku Pangeran Husein.

Penulis teringat berdasarkan buku bacaan lama yang yang ditulis oleh Belanda maupun penulis lokal bahwa mareka adalah rombongan yang turut dibuang bersama Sultan oleh Van Daalen pada tahun 1907. Saya bertanya kepada Surya, di manakah sultan dimakamkan? Surya membawa kami ke  arah yang  lebih jauh lagi, kira kira 700 meter dari makam istrinya. Saya terharu bercampur sedih melihat kondisi makam. Tidak ada tanda-tanda istimewa bahwa di situ dimakamkan  Sultan Aceh yang terbuang. Hanya tertulis, “Toeankoe Sultan Muhammad Daoed Ibnal Marhoem Toeankoe Zainal Abidin Alaiddin Syah wafat hari Senin,  6 Februari 1939.”

Penangkapan sultan
Selesai berziarah dan berdoa di makam pahlawan bangsa ini, kami beranjak pulang. Hati saya berkecamuk setelah melihat kondisi makam Sultan Muhammad  Daud Syah. Dia tidak dipeduli dan dilupakan  anak negerinya,  yang katanya berjuang demi “marwah indatu”. Terbayang dalam kepala saya kisah  heroik yang pernah dimainkan oleh Sultan Muhammad Daud Syah, yang diangkat menjadi Sultan Aceh pada tahun 1878 di  usia 7 tahun. Di usia belia itu dia menggantikan pamannya Sultan Alaidin Mahmudsyah yang mangkat pada tahun 1874. 

Dalam catatan sejarah,  sultan hampir saja tertangkap oleh Kapten Kramer di hulu Pantee Raja, Pidie,  tahun 1902. Akan tetapi, sultan berhasil  lolos. Kramer  pun  kehilangan prajuritnya yang berjumlah  20 orang. Untuk menebus rasa malunya,  Kapten Kramer memberitahukan Gubernur Aceh saat itu Van Heutsz bahwa sultan  terkena tembakan dan luka parah, lalu meninggal dunia. Sebuah kuburan di pedalaman Pantee Raja  dikatakannya sebagai  makam Sultan Muhammad Daudsyah .

Van Heutsz yang terkenal kejam dan tidak berperikemanusiaan tidak yakin pada anak buahnya. Dia bahkan  menuduh anak buahnya berbohong,. Dengan emosinya dia meminta Mayor Van der Maaten untuk menangkap hidup atau mati Sultan Muhammad Daud syah,  walau dengan taktik keji sekalipun.  Pada  26 November 1902, Kapten  Christoffel  menculik salah seorang  istri sultan, Pocut Putroe bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim. Mereka  dibawa  dari Sigli  ke Ulee Lheue. Pada  25 Desember 1902, Mayor Van Der Maaten menculik istri sultan  yang lain, Pocut Murong di Lamlo, dan dibawa ke Kuta Raja. Van Heutsz menyebarkan informasi intelijen bahwa istri-istri sultan telah diperkosa. Anaknya, Tuanku Raja Ibrahim,  disayat sayat. Kalau Sultan tidak tunduk pada Belanda,   mereka akan dibunuh. Informasi intelijen ini sampai juga pada sultan yang berada di Keumala Dalam.

Menghadapi suasana genting ini, sultan bermusyawarah  dengan ulama-ulama yang selalu bersamanya  seperti Teungku Tjhi’ Mayet Tiro, Teungku di Buket Tiro, Teungku Cot Plieng, Teungku di Reubee, Teungku Di Lam Gut, Teungku Di Alue Keutapang Samalanga, Tgk Syik Awee Geutah, Teungku Di Mata Ie, Teungku Di Barat. Hanya ulama yang masih setia pada Sultan Muhammad Daud Syah yang  diputuskan turun menyelamatkan anak istrinya dan secara gentlemen menghadap Van Heutsz di Kuta Raja.

 Pada  6 Januari 1903, sultan mengirim surat kepada Van Heutsz bahwa ia bersedia tunduk pada tekanan Van Heutsz dan meminta anak dan keluarganya tidak diganggu. Van Heutsz sangat gembira mendapat surat dari Sultan Muhammad Daudsyah. Diperintahkanlah Van Der Maaten menjemput sultan di Sigli dan dibawa ke Kuta Raja. Sultan terkejut setelah bertemu istri-istri dan anaknya, Tuanku Raja Ibrahim,  bahwa kondisinya sehat dan tidak disentuh oleh Belanda. Kalau saja sultan  tahu bahwa anaknya sehat dan istrinya tidak diperkosa, dia tidak akan tunduk pada tekanan Belanda.

 Di pihak lain Van Heutsz sangat berbahagia bahwa  Sultan Aceh telah berada bersamanya. Maka pada  15 Januari 1903, Belanda menyiapkan  upacara penyerahan kedaulatan Aceh dari   Muhammad Daud Syah.  Sultan diminta supaya menandatangani surat  pengakuan yang sudah disiapkan lebih dulu, dimana disebutkan  bahwa Aceh menjadi bagian Hindia Belanda, dan ia berada dalam pengawalan Gubernur van Heutsz. Sultan sangat marah dan merobek surat tersebut. Gubernur Van Heutsz geram  dan memerintahkan  sultan dijadikan  tahanan rumah.

Pada saat Van Daalen  menjadi Gubernur Aceh tahun 1905, dia berusaha agar dibuang dari tanah kelahirannya seperti yang telah dilakukan terhadap Cut Nyak Dien yang telah berhasil dibuang ke Tanah Jawa.

Pada 6 Maret 1907, terjadilah penyerangan Kutaraja yang  dipimpin oleh Keutjhi’ Seuman. Penyerangan yang tidak diduga  dan sangat  memalukan pihak Belanda baik di Kuta Raja, Batavia (Jakarta),  dan Den Haag. Penyerangan  Ketjhi’ Seuman dianggap melunturkan prestise militer Belanda. Gubernur Aceh Van Daalen menuduh Sultan Muhammad Daud berada di belakang penyerangan yang memalukan Belanda. Apalagi berdasarkan informasi intelijen Belanda, Sultan Muhammad Daud Syah saat itu  aktif menggalang kekuatan dalam negeri dan hubungan diplomasi dengan Jepang untuk  mengusir Belanda.

 “Integendeel, hij is begonnen allerlei slechte sujetten om zich heen te verzamelen en te trachten zich .n verbinding te stellen mi ‘den consul generaal van Japan te Singapore, ten einde bij denMikado steun tegen ons te zoeken. Geruchten omtrent een en ander vernam ik reeds spoedig na mijn optreden in 1905, zooals dan ook uit mijn eerste jaarverslag blijkt, en die geruchten werden dan ook maar al te zeer bevestigd na de arrestatie van den toeankoe. Uit de gevonden brieven is duidelijk gebleken, dat het de bedoeling van den toeankoe Moehamad Dawot was, dat Japan hierheen een viertal oorlogschepen zou zenden om ons terzee tepestrijden, terwijl hij dan het varkentje het land wal zou wassen. “

Maksudnya,  lebih kurang,  “Sebaliknya,  dia mulai melakukan berbagai tindak tanduk buruk mengumpul siapa pun di sekelilingnya dan dia mencoba mengadakan hubungan dengan konsul jenderal Jepang di Singapura, untuk mendapatkan bantuan Mikado mengadakan perlawanan terhadap kita. Berita-berita sekitar persoalan tersebut sudah kudengar semenjak  saya memegang jabatan tahun 1905.”

Akhirnya,   pada Rabu, 21 Agustus 1907,  Sultan Muhammad Daud Syah dibuang dari tanah lelulurnya atas perintah Van Daalen dengan cara sangat keji. Pada  hari itu dia diundang makan oleh Asisten Residen Kuta Raja Rijckmans, tetapi di pihak lain Van Daalen memerintahkah letnan J.E. Scheffers menangkapnya.Sultan terkejut.  Dia dikepung dan ditodong dengan bayonet terhunus,  lalu didorong terus keluar dan dinaikkan ke kereta api, menuju pelabuhan Ulee Lheue.  Di kapal itu  telah berada Uleebalang Teuku Djohan, Tuanku Husin, dan keluarga sultan yang mengalami nasib yang sama untuk dibuang dari Aceh.

Menurut Tuanku Raja Yusuf, cucu Sultan Muhammad Daudsyah pertama sekali sultan dibuang ke Ambon, tetapi beliau menggerakkan pemberontakan kaum Bugis melawan Belanda. Maka akhirnya diasingkan ke Jakarta sampai beliau menghembuskan nafas terakhir dalam buangan dan dimakamkan di pemakaman umum Utan Kayu, Rawamangun,  Jakarta. Menurut Tuanku Raja Yusuf,  dulu ada tanda pada  makam Sultan Muhammad Daud Syah, tetapi pada tahun 2006 roboh.

Beberapa pemerintah Aceh pernah berniat merenovasi makam sultan,  tetapi sampai kini belum ada yang terealisasi. Tuanku Raja Yusuf mengharapkan pemerintah baru Aceh sekarang  dapat merenovasi makam Sultan Aceh tersebut agar sejarah perjuangannya selalu diingat oleh generasi Aceh.

* Penulis adalah  pemerhati sejarah, adat,  dan budaya Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar