Oleh Hasanuddin Yusuf Adan
SECARA jujur patut kita akui bahwa selama ini perbaikan demi perbaikan telah diwujudkan dalam upaya membangun Aceh. Namun apabila kita bandingkan dengan pengorbanan demi pengorbanan selama 30 tahun yang lalu sama sekali belum berimbang. Peradaban kita telah berantakan selama 30 tahun masa konflik seperti persaudaraan Aceh terus berkurang, malu Aceh semakin terkuburkan, adat budaya Aceh semakin terpendam, rumah adat Aceh semakin menghilang, dan kesopanan Aceh juga kini melayang. Mampukah pemimpin Aceh baru mengembalikan semua itu seperti zaman kejayaan dulu?
Kalimat membangun Aceh baru tidaklah bermakna mewujudkan satu Aceh lagi selain Aceh yang sudah ada ini, melainkan adalah bagaimana para pemimpin Aceh yang baru terpilih sanggup memperbarui suasana Aceh dan masyarakatnya, menjadi Aceh yang bermakna serta dapat memberikan kesejukan, kenyamanan, kesejahteraan, serta kedamaian bagi segenap rakyatnya. Mampukah para pemimpin baru Aceh menghadirkan suasana baru semisal itu?
Mengikuti jejak endatu
Apabila mereka mahu berpandu dan berpacu kepada kesuksesan Penghulu dan para endatu (Rasulullah SAW dan para penguasa Aceh masa kejayaan), insya Allah mereka akan dapat dan mampu merealisasikan semua itu. Tinggal hanya mengikuti jejak langkah para Penghulu dan para endatu tersebut. Secara kasat mata kita dapat melihat para pemimpin baru Aceh sedikit banyak telah melalui langkan dan sepak terjang Penghulu dan para endatu. Mereka telah berhijrah puluhan tahun ke negeri orang untuk membebaskan Aceh dari keterpurukan, hal ini ada kaitannya dengan hijrahnya Nabi Muhammad saw sebagai Penghulu ke Yatsrib (Madinah) sebagai persiapan untuk membebaskan kota Makkah. Sebelumnya sebagian besar sahabat juga diperintahkan Nabi untuk berhijrah dua kali ke Ethiopia dalam upaya yang serupa.
Para pemimpin baru Aceh hari ini juga telah berjuang dan berperang melawan kezaliman para penguasa Indonesia yang waktu itu dinilai tidak adil terhadap Aceh. Prihal serupa juga telah dilakukan para endatu ketika membebaskan Aceh dari penjajahan kolonialist salibist dan diperhitungkan oleh penerusnya yang sudah pernah menjarah hasil alam Aceh. Sekali lagi muncul pertanyaan; mampukan para pemimpin Aceh baru menebus semua itu dalam amalan bukan dalam ucapan?
Tentunya membangun Aceh baru ke depan tidaklah sebanding dengan menggembar-gemborkan program JKA atau memberikan beasiswa kepada sejumlah anak bangsa dari hasil anggaran APBA, akan tetapi mesti harus lebih jauh dari itu yang harus dilakukan sehingga keberhasilan yang pernah diperoleh Penghulu dan kejayaan yang pernah dicapai para endatu dapat wujud di Aceh baru bersama para pemimpin baru. Lagi-lagi muncul tanda tanya: Mampukah para pemimpin baru melakukan segala itu untuk Aceh baru?
Kesamaan gerak dan kesamaan perjuangan walaupun cara dan metodanya agak berlainan telahpun terserlah pada para pemimpin baru Aceh dengan apa yang telah diprakarsai Penghulu dan para endatu. Kalau Penghulu berhijrah dari Mekkah ke Madinah disebabkan tidak bisa tinggal dan hidup lagi di Mekkah karena mau dibunuh kaum kafir Quraisy, maka para pemimpin Aceh baru pun berhijrah dari Aceh ke Eropah karena prihal yang sama. Kalau Penghulu dulu berhijrah dalam rangka persiapan menebus kembali tanah tumpah darah yang dimonopoli para penguasa Quraisy, tujuan hijrah para pemimpin Aceh baru juga untuk menebus tanah tumpah darah keuneubah endatu yang sudah lama dijarah para penguasa yang tidak adil.
Kalau Nabi dulu berhijrah dan berjihad sekuat tenaga untuk membebaskan Mekkah yang satu agar Islam mudah tersebar ke seluruh dunia dengan sentral utamanya Mekkah dan Madinah. Maka hijrah dan perjuangan para pemimpin baru Aceh pun semata-mata untuk Aceh yang satu dan agama yang satu yakni Islam sebagai peunulang Penghulu dan keuneubah endatu. Kalau patron ini yang dijadikan ukuran, insya Allah para pemimpin baru Aceh akan berjaya untuk Aceh yang satu dan untuk Aceh baru.
Telusurilah jejak Penghulu manakala berhasil hijrah ke Madinah, maka yang paling utama dan pertama dikerjakan adalah tiga perkara penting; pertama membangun masjid yang dimulai dengan pembangunan masjid Quba sebelum mencapai Madinah dan membangun Masjid Nabawi yang megah di Madinah. Kedua adalah mempersatukan umat antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Dan yang ketiga mewujudkan Shahifah Madinah yang kemudian terkenal dengan nama Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah.
Karenanya; untuk membangun Aceh baru dengan pemimpin baru bersama konsep Rasulullah, para pemimpin baru Aceh wajib menteladani tiga langkah konkret yang sudah diamalkan Nabi dalam bingkai serupa tetapi langkah berbeda. Kalau Nabi dulu membangun masjid sebagai langkah awal karena pada waktu itu belum ada masjid sama sekali.
Dalam konteks Aceh hari ini masjid sudah merata di seluruh penjuru bumi Aceh, maka yang harus dilakukan para pemimpin Aceh baru adalah mengisi masjid, mengajak rakyat beribadah di masjid dan berdakwah, berkhutbah serta berceramah untuk membangun Aceh dan bangsa di masjid. Jadikan masjid sebagai sentral pembangunan umat, bangsa dan negara sebagaimana yang telah dilakukan endatu kita Iskandar Muda dan para ulama PUSA.
Persatukan semua kelompok
Kalau Nabi dulu mempersatukan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin sehingga memiliki rakyat dan bangsa yang komit membantu-Nya dan menjalankan agama-Nya. Maka para pemimpin Aceh baru ke depan pun harus mempersatukan semua komponen dan kelompok bangsa Aceh menjadi bangsa yang satu, rakyat yang bersatu dan menyatu dengan para pemimpin baru. Perlu diingat baik-baik bahwa pemimpin baru Aceh hari ini adalah pemimpin Aceh bukan pemimpin partai A atau partai B walaupun dulu mereka didukung dan dipilih oleh mayoritas partai A dan partai B tersebut.
Kalau kita tidak terlalu ekstrem dapatlah kita umpamakan eksistensi Piagam Madinah itu ada kemiripannya dengan UUPA. Karenanya Nabi berhasil dahulu memimpin Madinah serta menaklukkan Mekkah besar sekali pengaruhnya dengan berkomitmen penuh menjadikan Piagam Madinah sebagai acuan pembangunan dan perjuangan. Para pemimpin Aceh baru mestilah komit dengan UUPA, baik komit dengan aplikasi menjalankan kandungannya maupun komit dengan penyempurnaannya.
UUPA memberikan kesempatan bagi bangsa Aceh untuk menjalankan Syariat Islam kaffah di merata bumi Aceh, maka jangan ada lagi tutur kata para pemimpin Aceh baru beserta pengikut-pengikut setianya: “tidak perlu menyebut-nyebut nama Islam di Aceh karena dari endatu kita sudah Islam”. Ini ucapan bobrok dan konyol. Sebaliknya para pemimpin Aceh baru harus berjuang keras bersama rakyat dan bangsa untuk memastikan berjalannya syariat Islam kaffah di bumi Aceh. Semoga!
* Drs. Hasanuddin Yusuf Adan, Lc, Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh/Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (Konsentrasi Politik Islam)
Kalimat membangun Aceh baru tidaklah bermakna mewujudkan satu Aceh lagi selain Aceh yang sudah ada ini, melainkan adalah bagaimana para pemimpin Aceh yang baru terpilih sanggup memperbarui suasana Aceh dan masyarakatnya, menjadi Aceh yang bermakna serta dapat memberikan kesejukan, kenyamanan, kesejahteraan, serta kedamaian bagi segenap rakyatnya. Mampukah para pemimpin baru Aceh menghadirkan suasana baru semisal itu?
Mengikuti jejak endatu
Apabila mereka mahu berpandu dan berpacu kepada kesuksesan Penghulu dan para endatu (Rasulullah SAW dan para penguasa Aceh masa kejayaan), insya Allah mereka akan dapat dan mampu merealisasikan semua itu. Tinggal hanya mengikuti jejak langkah para Penghulu dan para endatu tersebut. Secara kasat mata kita dapat melihat para pemimpin baru Aceh sedikit banyak telah melalui langkan dan sepak terjang Penghulu dan para endatu. Mereka telah berhijrah puluhan tahun ke negeri orang untuk membebaskan Aceh dari keterpurukan, hal ini ada kaitannya dengan hijrahnya Nabi Muhammad saw sebagai Penghulu ke Yatsrib (Madinah) sebagai persiapan untuk membebaskan kota Makkah. Sebelumnya sebagian besar sahabat juga diperintahkan Nabi untuk berhijrah dua kali ke Ethiopia dalam upaya yang serupa.
Para pemimpin baru Aceh hari ini juga telah berjuang dan berperang melawan kezaliman para penguasa Indonesia yang waktu itu dinilai tidak adil terhadap Aceh. Prihal serupa juga telah dilakukan para endatu ketika membebaskan Aceh dari penjajahan kolonialist salibist dan diperhitungkan oleh penerusnya yang sudah pernah menjarah hasil alam Aceh. Sekali lagi muncul pertanyaan; mampukan para pemimpin Aceh baru menebus semua itu dalam amalan bukan dalam ucapan?
Tentunya membangun Aceh baru ke depan tidaklah sebanding dengan menggembar-gemborkan program JKA atau memberikan beasiswa kepada sejumlah anak bangsa dari hasil anggaran APBA, akan tetapi mesti harus lebih jauh dari itu yang harus dilakukan sehingga keberhasilan yang pernah diperoleh Penghulu dan kejayaan yang pernah dicapai para endatu dapat wujud di Aceh baru bersama para pemimpin baru. Lagi-lagi muncul tanda tanya: Mampukah para pemimpin baru melakukan segala itu untuk Aceh baru?
Kesamaan gerak dan kesamaan perjuangan walaupun cara dan metodanya agak berlainan telahpun terserlah pada para pemimpin baru Aceh dengan apa yang telah diprakarsai Penghulu dan para endatu. Kalau Penghulu berhijrah dari Mekkah ke Madinah disebabkan tidak bisa tinggal dan hidup lagi di Mekkah karena mau dibunuh kaum kafir Quraisy, maka para pemimpin Aceh baru pun berhijrah dari Aceh ke Eropah karena prihal yang sama. Kalau Penghulu dulu berhijrah dalam rangka persiapan menebus kembali tanah tumpah darah yang dimonopoli para penguasa Quraisy, tujuan hijrah para pemimpin Aceh baru juga untuk menebus tanah tumpah darah keuneubah endatu yang sudah lama dijarah para penguasa yang tidak adil.
Kalau Nabi dulu berhijrah dan berjihad sekuat tenaga untuk membebaskan Mekkah yang satu agar Islam mudah tersebar ke seluruh dunia dengan sentral utamanya Mekkah dan Madinah. Maka hijrah dan perjuangan para pemimpin baru Aceh pun semata-mata untuk Aceh yang satu dan agama yang satu yakni Islam sebagai peunulang Penghulu dan keuneubah endatu. Kalau patron ini yang dijadikan ukuran, insya Allah para pemimpin baru Aceh akan berjaya untuk Aceh yang satu dan untuk Aceh baru.
Telusurilah jejak Penghulu manakala berhasil hijrah ke Madinah, maka yang paling utama dan pertama dikerjakan adalah tiga perkara penting; pertama membangun masjid yang dimulai dengan pembangunan masjid Quba sebelum mencapai Madinah dan membangun Masjid Nabawi yang megah di Madinah. Kedua adalah mempersatukan umat antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Dan yang ketiga mewujudkan Shahifah Madinah yang kemudian terkenal dengan nama Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah.
Karenanya; untuk membangun Aceh baru dengan pemimpin baru bersama konsep Rasulullah, para pemimpin baru Aceh wajib menteladani tiga langkah konkret yang sudah diamalkan Nabi dalam bingkai serupa tetapi langkah berbeda. Kalau Nabi dulu membangun masjid sebagai langkah awal karena pada waktu itu belum ada masjid sama sekali.
Dalam konteks Aceh hari ini masjid sudah merata di seluruh penjuru bumi Aceh, maka yang harus dilakukan para pemimpin Aceh baru adalah mengisi masjid, mengajak rakyat beribadah di masjid dan berdakwah, berkhutbah serta berceramah untuk membangun Aceh dan bangsa di masjid. Jadikan masjid sebagai sentral pembangunan umat, bangsa dan negara sebagaimana yang telah dilakukan endatu kita Iskandar Muda dan para ulama PUSA.
Persatukan semua kelompok
Kalau Nabi dulu mempersatukan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin sehingga memiliki rakyat dan bangsa yang komit membantu-Nya dan menjalankan agama-Nya. Maka para pemimpin Aceh baru ke depan pun harus mempersatukan semua komponen dan kelompok bangsa Aceh menjadi bangsa yang satu, rakyat yang bersatu dan menyatu dengan para pemimpin baru. Perlu diingat baik-baik bahwa pemimpin baru Aceh hari ini adalah pemimpin Aceh bukan pemimpin partai A atau partai B walaupun dulu mereka didukung dan dipilih oleh mayoritas partai A dan partai B tersebut.
Kalau kita tidak terlalu ekstrem dapatlah kita umpamakan eksistensi Piagam Madinah itu ada kemiripannya dengan UUPA. Karenanya Nabi berhasil dahulu memimpin Madinah serta menaklukkan Mekkah besar sekali pengaruhnya dengan berkomitmen penuh menjadikan Piagam Madinah sebagai acuan pembangunan dan perjuangan. Para pemimpin Aceh baru mestilah komit dengan UUPA, baik komit dengan aplikasi menjalankan kandungannya maupun komit dengan penyempurnaannya.
UUPA memberikan kesempatan bagi bangsa Aceh untuk menjalankan Syariat Islam kaffah di merata bumi Aceh, maka jangan ada lagi tutur kata para pemimpin Aceh baru beserta pengikut-pengikut setianya: “tidak perlu menyebut-nyebut nama Islam di Aceh karena dari endatu kita sudah Islam”. Ini ucapan bobrok dan konyol. Sebaliknya para pemimpin Aceh baru harus berjuang keras bersama rakyat dan bangsa untuk memastikan berjalannya syariat Islam kaffah di bumi Aceh. Semoga!
* Drs. Hasanuddin Yusuf Adan, Lc, Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh/Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (Konsentrasi Politik Islam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar