Selasa, 06 Maret 2012

Hukum Progresif Indonesia dalam Prespektif UUPA


Photobucket 
Hukum menurut saya adalah sebuah norma atau nilai yang mengatur segala tindak tanduk masyarakat. Hukum menjadi alat hubungan manusia baik perorangan maupun kelompok  yang dalam terminologi ilmu hukum disebut subject hukum.

Hukum menjadi penting karena hubungan manusi kerap bersifat saling bertentangan. Dengan demikian hukum berfungsi menjadi rambu-rambu bagi tarik menarik kepentingan antar manusia. Oleh sebab itu dalam praktiknya - dalam term kekuasaan -  hukum menjadi alat dominasi kelompok kuat kepada kelompok yang lemah.

Dalam setiap perjanjian pasca perang, hukum adalah representasi yang menang dan yang kalah. Dilihat dari alur penciptaan lahirnya hukum secara tertulis maka hukum dapat disebut sebagai produk dari aktifitas politik.      

Berangkat dari definisi diatas maka hukum dapat dimaknai sebagai sesuatu yang progresif. Kualitas progresif-nya sangat ditentukan oleh filosofi keadilan dan kemakmuran yang dikandungnya. Ditentukan oleh sejauhmana kelompok masyarakat banyak dalam sebuah masyarakat diuntungkan atau dirugikan. Hukum menjadi progresif lantaran ianya merupakan produk dari sebuah perjuangan kelompok-kelompok masyarakat dalam negara.

Undang-Undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh atau lazim disebut UUPA adalah hasil dari perjuangan masyarakat Aceh dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

UUPA menjadi penting karena fungsi dan tujuannya untuk mengaktualkan butir-butir perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka kedalam perundang-undangan Indonesia sehingga kesepakatan politik tersebut bisa dijalankan.     

Dalam proses lahirnya Undang-Undang ini semua elemen masyarakat di Aceh terlibat aktif meng-konsep (drafting) dan memperjuangkan supaya semua kesepakatan damai Helsinki dapat diakomodir kedalam perundang-undangan Indonesia.

Partisipasi aktif itu tidak hanya terjadi di Aceh tetapi juga terjadi di tingkatan nasional dimana semua elemen pro demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian baik yang didalam mahupun yang diluar parlemen Indonesia sama-sama memberikan konstribusi besar bagi terciptanya sejarah baru yang memajukan dapat terlaksana di Aceh.

Meski tidak semua butir-butir dalam Kesepakatan Damai Helsinki dapat ditampung dalam UUPA namun Undang-Undang tersebut menjadi mercusuar perjuangan masyarakat Aceh dalam hubungan komunikasi politiknya dengan pemerintah pusat sejak republik ini berdiri.

Sejarah perjuangan masyarakat Aceh dalam bingkai Indonesia diwarnai dengan perlawanan DI/TII –Darul Islam/Tentara Islam Indonesia- kurun waktu 50-an sampai dengan deklarasi Gerakan Aceh Merdeka tahun 1976-2005.   

Langkah Kedepan Progresivitas Hukum di Aceh

Isi pokok dari UUPA adalah ; penjewantahan beberapa kewenangan politik pemerintah pusat ke pemerintah Aceh, pengakuan –legalisasi struktur politik lokal untuk dapat berperan aktif dalam pelaksanaan politik dan pembangunan di Aceh mahupun nasional, pembagian hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh, pengelolaan kekayaan alam, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan pengakuan terhadap lembaga adat dan budaya Aceh. 

Sumbu dari ini semua terletak pada kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan partisipasi aktif Partai Lokal dalam politik di Indonesia. Kedua item ini menjadi energi progesifitas di Aceh untuk memaksimalkan seluruh butir-butir kesepakatan damai Helsinki dapat dilaksanakan.

Partai Politik Lokal adalah sumbu utama menjaga perkembangan UUPA dapat terus berkembang –tidak statis-  kearah yang terus menerus dapat memajukan masyarakat. Hukum bukanlah dogma yang bersifat final. Hukum pada dasarnya bersifat dialektis  karena  karakteristik dari hukum progresif adalah menolak keadaan status quo. Hukum harus terus bergerak simultan menyesuaikan gerak kemajuan masyarakat.  Bagi Partai Aceh guide line-nya adalah MoU Helsinki.

*Sekretaris Pemenangan Pusat Partai Aceh Untuk Pilkada Aceh 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar