JAKARTA - Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Julian Wilson, menilai apapun spekulasi yang berkembang --menyangkut jalannya pilkada serta hasil perolehan suara sementara Pilkada, tetap dianggapnya sebagai “kemenangan demokrasi rakyat Aceh”. Satu hal yang berulangkali ia sampaikan adalah “Aceh harus ‘terbuka’ untuk investor”. Berikut wawancara selengkapnya dengan Julian Wilson, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin sore.
Atjehpost (AP): Apa pendapat Anda mengenai pemilihan Kepala Daerah di Aceh baru-baru ini?
Julian Wilson (JW): Saya senang berkesempatan untuk menyaksikan pemilu damai di Aceh, untuk yang kedua kalinya. Saya ucapkan selamat kepada rakyat Aceh, sebab (pilkada) sudah menunjukkan bagaimana demokrasi dapat berjalan dengan baik. Saya menerima laporan dan berbagai isu yang intinya keberatan dengan hasil pemilihan itu, namun saya tidak ingin berkomentar. Indonesia punya institusi hukum untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
AP: Sebagai salah satu pihak yang sejak awal ikut mendukung proses perdamaian Aceh, kemajuan apa yang diharapkan oleh Uni Eropa untuk Aceh, baik secara politik dan ekonomi?
JW: Itu terserah bagaimana pemerintah Indonesia mengaturnya. Kami dulu membantu Aceh ketika tsunami dan proses pembangunan sesudahnya, dan sekarang sudah selesai. Saat ini konflik terbuka sudah tidak ada, sudah damai. Tugas kami adalah mengakui fakta itu dan terus mendukung Aceh dari segi pembangunan, semampu yang kami bisa.
AP: Melihat situasi sekarang, apakah Uni Eropa tertarik untuk menanamkan modal lebih banyak di Aceh?
JW: Itu tergantung dari perusahaan-perusahaan di Eropa, bukan saya yang memutuskan. Saya ‘kan tidak mewakili kelompok pengusaha. Tapi bisnis dari pengusaha Uni Eropa sangat besar di Indonesia; apakah di Jawa atau Sumatera. Kalau kami bergerak menuju utara Sumatera, ya tentu hanya Aceh yang bisa memutuskan (dalam hal investasi).
AP: Maksudnya Aceh yang memutuskan itu seperti apa?
JW: Begini, Aceh harus menciptakan lingkungan yang mampu menarik minat para investor (pemodal), baik itu pemodal luar negeri atau lokal dari Indonesia sendiri, untuk mau datang ke Aceh. Ini yang sangat kami harapkan dari pemerintahan yang baru di masa yang akan datang. Eropa dan Aceh itu kawan lama, maka kami akan tetap ada di Aceh.
AP: Menurut Anda, kemitraan seperti apa yang ideal antara Aceh dengan luar negeri, katakanlah dengan Uni Eropa?
JW: Ya, memang akan ada sejumlah tantangan. Kadang-kadang ‘pesan’ yang disampaikan Aceh kepada investor asing itu ditanggapi secara negatif. Misalnya tentang larangan memakai celana panjang untuk perempuan. Kami bukannya tidak menghargai aturan lokal, tetapi hal-hal semacam ini membuat Aceh terasing akibat ‘brand’ (merk) yang keliru dari aturan-aturan itu, yang sempat menjadi headline di banyak media internasional.
Saya ingin Aceh menunjukkan daya tariknya dengan cara-cara pandang yang lebih luas (broad). Karena apa? Aceh itu adalah salah satu daerah yang sangat indah di Indonesia. Saya kira inilah yang akan menjadi tantangan bagi pemerintahan yang baru, yaitu membuat ‘brand’ (kesan) yang lebih baik di mata dunia.
AP: Kira-kira apa yang Anda pikirkan, apakah pemerintahan yang baru harus me-reformasi hukum syariah yang berlaku sekarang?
JW: Kalau soal itu saya tidak ingin berkomentar. Tetapi begini ya, saya punya kawan-kawan di Aceh yang relijius, mereka bekerja di sektor swasta sebagai pebisnis. Toh mereka bisa bertahan, dan mereka bisa lebih maju seandainya basisnya berbisnis-nya itu lebih dibangun. Pastikan pada dunia internasional, bahwa masyarakat Aceh dengan syariah-nya itu terbuka pada bisnis, para investor tetap bisa menjalankan bisnisnya dan pembangunan pun berjalan sebagaimana yang diinginkan masyarakat. Ini pendapat saya.
AP: Beralih ke soal politik, pemenang pilkada adalah ex-combatant, apakah ini...
JW: (langsung menjawab) Saya tidak melihat mereka sebagai bekas kombatan (tersenyum).
AP: Faktanya kekerasan tetap ada, apakah Uni Eropa khawatir, terkait dengan isu keamanan?
JW: Saya kira harus menghormati proses politiknya dulu. Partai Aceh terbentuk, dan pemerintah Indonesia menjalankan Undang-Undang, mereka ikut pilkada dan menang. Ini suatu perkembangan yang luar biasa dalam sejarah Aceh. Yang saya lihat hanyalah partai politik baru dalam Aceh yang demokratis, dan mempraktikkan hak-hak demokrasinya. Sudah lah, saya tidak perlu berkomentar lebih banyak lagi soal ini (tertawa).
Atjehpost (AP): Apa pendapat Anda mengenai pemilihan Kepala Daerah di Aceh baru-baru ini?
Julian Wilson (JW): Saya senang berkesempatan untuk menyaksikan pemilu damai di Aceh, untuk yang kedua kalinya. Saya ucapkan selamat kepada rakyat Aceh, sebab (pilkada) sudah menunjukkan bagaimana demokrasi dapat berjalan dengan baik. Saya menerima laporan dan berbagai isu yang intinya keberatan dengan hasil pemilihan itu, namun saya tidak ingin berkomentar. Indonesia punya institusi hukum untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
AP: Sebagai salah satu pihak yang sejak awal ikut mendukung proses perdamaian Aceh, kemajuan apa yang diharapkan oleh Uni Eropa untuk Aceh, baik secara politik dan ekonomi?
JW: Itu terserah bagaimana pemerintah Indonesia mengaturnya. Kami dulu membantu Aceh ketika tsunami dan proses pembangunan sesudahnya, dan sekarang sudah selesai. Saat ini konflik terbuka sudah tidak ada, sudah damai. Tugas kami adalah mengakui fakta itu dan terus mendukung Aceh dari segi pembangunan, semampu yang kami bisa.
AP: Melihat situasi sekarang, apakah Uni Eropa tertarik untuk menanamkan modal lebih banyak di Aceh?
JW: Itu tergantung dari perusahaan-perusahaan di Eropa, bukan saya yang memutuskan. Saya ‘kan tidak mewakili kelompok pengusaha. Tapi bisnis dari pengusaha Uni Eropa sangat besar di Indonesia; apakah di Jawa atau Sumatera. Kalau kami bergerak menuju utara Sumatera, ya tentu hanya Aceh yang bisa memutuskan (dalam hal investasi).
AP: Maksudnya Aceh yang memutuskan itu seperti apa?
JW: Begini, Aceh harus menciptakan lingkungan yang mampu menarik minat para investor (pemodal), baik itu pemodal luar negeri atau lokal dari Indonesia sendiri, untuk mau datang ke Aceh. Ini yang sangat kami harapkan dari pemerintahan yang baru di masa yang akan datang. Eropa dan Aceh itu kawan lama, maka kami akan tetap ada di Aceh.
AP: Menurut Anda, kemitraan seperti apa yang ideal antara Aceh dengan luar negeri, katakanlah dengan Uni Eropa?
JW: Ya, memang akan ada sejumlah tantangan. Kadang-kadang ‘pesan’ yang disampaikan Aceh kepada investor asing itu ditanggapi secara negatif. Misalnya tentang larangan memakai celana panjang untuk perempuan. Kami bukannya tidak menghargai aturan lokal, tetapi hal-hal semacam ini membuat Aceh terasing akibat ‘brand’ (merk) yang keliru dari aturan-aturan itu, yang sempat menjadi headline di banyak media internasional.
Saya ingin Aceh menunjukkan daya tariknya dengan cara-cara pandang yang lebih luas (broad). Karena apa? Aceh itu adalah salah satu daerah yang sangat indah di Indonesia. Saya kira inilah yang akan menjadi tantangan bagi pemerintahan yang baru, yaitu membuat ‘brand’ (kesan) yang lebih baik di mata dunia.
AP: Kira-kira apa yang Anda pikirkan, apakah pemerintahan yang baru harus me-reformasi hukum syariah yang berlaku sekarang?
JW: Kalau soal itu saya tidak ingin berkomentar. Tetapi begini ya, saya punya kawan-kawan di Aceh yang relijius, mereka bekerja di sektor swasta sebagai pebisnis. Toh mereka bisa bertahan, dan mereka bisa lebih maju seandainya basisnya berbisnis-nya itu lebih dibangun. Pastikan pada dunia internasional, bahwa masyarakat Aceh dengan syariah-nya itu terbuka pada bisnis, para investor tetap bisa menjalankan bisnisnya dan pembangunan pun berjalan sebagaimana yang diinginkan masyarakat. Ini pendapat saya.
AP: Beralih ke soal politik, pemenang pilkada adalah ex-combatant, apakah ini...
JW: (langsung menjawab) Saya tidak melihat mereka sebagai bekas kombatan (tersenyum).
AP: Faktanya kekerasan tetap ada, apakah Uni Eropa khawatir, terkait dengan isu keamanan?
JW: Saya kira harus menghormati proses politiknya dulu. Partai Aceh terbentuk, dan pemerintah Indonesia menjalankan Undang-Undang, mereka ikut pilkada dan menang. Ini suatu perkembangan yang luar biasa dalam sejarah Aceh. Yang saya lihat hanyalah partai politik baru dalam Aceh yang demokratis, dan mempraktikkan hak-hak demokrasinya. Sudah lah, saya tidak perlu berkomentar lebih banyak lagi soal ini (tertawa).
Julian Wilson mengaku sering berlibur ke Aceh. “Saya mencintai panorama alamnya yang sangat bagus. Ada hal-hal positif yang harus diutamakan, ini indikasi penting untuk kemajuan Aceh,” kata Wilson menutup wawancara. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar