Jumat, 27 April 2012

Zaini, Dokter Pembangunan Aceh?

Oleh Marthunis Muhammad
PASANGAN dr Zaini Abdullah/Muzakir Manaf, seperti telah diumumkan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, terpilih sebagai Gubernur/Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017. Dari segi popularitas, kedua mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini sudah cukup dikenal dan ikut berperan dalam mewujudkan perdamaian Aceh. Namun ada juga yang meragukan kemampuan mereka dalam menjalankan roda organisasi pemerintahan Aceh mengingat keduanya minim pengalaman di pemerintahan.

Keraguan tersebut merupakan hal yang wajar namun juga mungkin berlebihan. Dalam era demokrasi, setiap warga negara berhak untuk mendapat kepercayaan dan dipilih menjadi pemimpin pemerintahan meskipun tanpa pengalaman sedikit pun. Tentunya pasangan pemimpin Aceh baru ini punya kelebihan yang dapat menjadi modal keberhasilan dalam menjalankan tugasnya. Yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini adalah pengalaman Zaini Abdullah sebagai dokter.

Mungkin kita ingat bahwa pemimpin yang membawa Malaysia meninggalkan Indonesia dan menjadi lebih maju adalah Mahathir Mohammad. Ia seorang dokter. Kemudian tampuk tertinggi pada Bank Dunia yang mempunyai mandat pengentasan kemiskinan dan membantu pembangunan negara berkembang saat ini diduduki oleh seorang dokter, Jim Yong Kim. Kenyataan ini seakan membuka harapan bahwa pasangan Zikir mampu mengantarkan pembangunan Aceh yang lebih baik.

Pendekatan klinis
Adalah Jeffrey Sachs yang mempopulerkan istilah pendekatan klinis dalam pembangunan ekonomi (clinical economics). Ekonom yang berhasil mengatasi masalah hiper-inflasi di Bolivia dan saat ini menjadi special adviser Sekjen PBB Ban Ki Moon untuk pencapaian tujuan pembangunan millenium (MDGS), dalam bukunya, The End of Poverty, mengibaratkan bahwa proses pembangunan seperti dokter mengobati pasien. Ia harus mengerti benar prinsip-prinsip fisiologi, cara mengontrol penyakit dan keadaan spesifik si pasien seperti riwayat kesehatan, keluarga dan lingkungan tempat tinggal si pasien. Semua ini diperlukan agar diagnosa yang dihasilkan benar dan intervensi yang diberikan tepat.

Presiden Bank Dunia yang baru, Dr Jim Yong Kim, membantah keraguan banyak pihak dalam memimpin lembaga ekonomi internasional terbesar dengan mengatakan bahwa ia adalah dokter. Ia terbiasa bekerja berdasarkan fakta di lapangan (evidence) dibandingkan dengan hanya dari satu ideologi politik tertentu (BBC, 17 April 2012). Kim diapresiasi dunia karena peran inisiatifnya dalam pencegahan penyebaran AIDS/HIV dan Tuberculosis (TB) di negara berkembang. Kedua argumentasi di atas menunjukkan prinsip klinis layak dicoba dalam menyelesaikan permasalahan pembangunan.

Sebagaimana diketahui bahwa derajat kesehatan pembangunan Aceh, soal kemiskinan, pengangguran, angka kematian bayi dan banyak indikator negatif lainnya di atas rata-rata provinsi lain. Beberapa tahun ke belakang, Aceh memang hidup dalam lingkungan yang tidak sehat --terutama akibat konflik dan tsunami-- yang tentu perlu dipulihkan dan sehat kembali agar bisa setara dengan daerah-daerah lainnya yang telah maju.

Laksana seorang dokter, gubernur yang diserahi bertanggungjawab untuk memimpin penyehatan Aceh ini perlu melakukan anamnesa dan uji laboratorium untuk mengetahui riwayat penyakit, kondisi psikis dan penyakit yang mungkin belum terdeteksi. Tensi sosial warisan konflik masih menyisakan permasalahan, berpotensi menggagalkan atau mengurangi keberhasilan intervensi pembangunan.

Seumpama tindakan bedah, maka tensi atau tekanan darah harus dijaga tetap normal agar operasi yang ditujukan untuk menyembuhkan pasien tidak berubah fatal. Stabilisasi merupakan langkah penting yang perlu diambil. Dalam konteks pembangunan Aceh, kebijakan sensitif konflik tampaknya masih layak menjadi mainstream atau arus utama dalam penyusunan program-program pembangunan.

Tak mudah terpedaya
Seorang dokter pembangunan tidak mudah terpedaya oleh gejala-gejala yang timbul dan melupakan penyebab utama dari permasalahan. Misalnya, dari pada memberikan bantuan langsung tunai (BLT) untuk mengentaskan kemiskinan, lebih baik menyelesaikan hambatan-hambatan rakyat bekerja dan memudahkan mereka mengembangkan potensinya. Seringkali kemiskinan bukan karena permasalahan kultural tetapi terdapat sumbatan-sumbatan struktural seperti informasi, ilmu pengetahuan, akses finansial ataupun infrastruktur pendukung. Ibarat diare ataupun diabetes, cara paling murah untuk menghindarinya adalah pengetahuan akan hidup dan pola makan bersih dan sehat dari pada harus menanggung biaya besar ketika terjadi wabah atau harus menyediakan cuci darah secara terus menerus. Pengetahuan akan penyebab utama dari permasalahan di Aceh menjadi sangat krusial agar program pembangunan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Karenanya, kegiatan riset kebijakan menjadi keharusan, sepenting uji laboratorium sebelum dokter melakukan diagnosa dan meresepkan pengobatannya.

Terkadang dalam proses pengambilan keputusan akan kegiatan/proyek pembangunan, ada pihak-pihak luar yang mencoba mempengaruhi demi kepentingan diri atau kelompok. Seringkali dokter dibisik oleh medical representative dari perusahaan obat tertentu untuk menggunakan obat buatannya dengan imbalan tertentu maupun melalui show off jasa-jasanya di masa lalu. Tentunya sebagai dokter yang baik, ketepatan dosis dan kesembuhan serta kepentingan pasienlah yang menjadi rujukan.

Integritas, kompetensi dan independensi harus menjadi panglima bagi pemimpin dalam pengambilan keputusan. Penyediaan barang jasa harus dilaksanakan berdasarkan prinsip meritokrasi. Apalagi jika seorang dokter mengikuti godaan perusahaan obat secara membabibuta dan menyebabkan pasien harus membeli obat lebih mahal dan juga belum tentu sembuh, maka bukan tidak mungkin si pasien tidak akan kembali memilih si dokter pada masa yang akan datang.

Setelah anamnesa, diagnosa dan pemberian resep atau tindakan, sang dokter membutuhkan observasi untuk melihat apakah reaksi dari keputusannya berjalan semestinya atau tidak. Jika pasien menunjukkan perkembangan positif maka tindakan tersebut dilanjutkan. Jika keadaan tidak berubah atau sebaliknya, maka perlu dihentikan dan diberikan tindakan alternatif.

Dokter pembangunan
Kegiatan monitoring dan evaluasi (Monev) menjadi analogi observasi pembangunan. Sering sekali uang pembangunan terbuang percuma karena proses monitoring dan evaluasi yang lemah. Beruntung Pemerintah Aceh sudah mempunyai sistem monev yang relatif inovatif dan baik. Tentunya ke depan sistem observasi yang sudah ada perlu ditingkatkan sehingga deteksi dini bisa lebih tepat dan cepat.

Dari beberapa ilustrasi di atas, penulis yakin bahwa Gubernur terpilih sangat paham akan prinsip pendekatan klinis ini. Pengalaman panjang sebagai dokter di Swedia dengan peraturan kesehatan yang lebih ketat dan bertanggung jawab membuat integritas dan komitmen terhadap profesionalisme beliau lebih tinggi. Dengan melaksanakan prinsip tersebut dalam memimpin Aceh lima tahun ke depan, maka predikat dokter pembangunan Aceh layak disematkan kepada pemimpin baru ini. Insya Allah.

* Marthunis Muhammad, Staf Bappeda Aceh/Mahasiswa Program Studi S2 Kebijakan Fiskal di AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar