SETELAH hasil pilkada 9 April diketahui melalui penghitungan cepat, dr Zaini Abdullah, calon gubernur terpilih, mengeluarkan pernyataan yang ditunggu-tunggu publik. Dengan gaya sederhana, ia menyatakan bahwa pada pilkada ini tidak ada yang harus merasa kalah dan menang, karena semua kandidat pemenang bagi masyarakat Aceh. Di akhir pernyataan, ia berjanji akan merangkul semua pihak dan melanjutkan perdamaian Aceh.
Pernyataan ini bukan tak berdasar. Telah terekam dalam sejarah Pilkada Aceh 2012, kualitas kampanye kali ini tidak seindah “puisi damai” yang sama-sama diikrarkan. Kualitas momen elektoral ini pun tidak sebaik sebelumnya. Ada banyak praktik dan kultur kekerasan bergesekan dengan model kampanye tidak simpatik. Aneka kekerasan tentu saja menyebabkan ada pihak yang tersayat perasaan (teupeh hate), dan tentu saja tak mudah dihilangkan.
Bagi saya, pernyataan gubernur terpilih itu sebagai penanda rekonsiliasi. Secara detil saya tak ingat kalimatnya, namun Zaini menggunakan kata islah, yang secara etimologis dapat pula diartikan berdamai atau berekonsiliasi; meskipun tak persis sama dengan terminologi rekonsiliasi secara konseptual. Mungkin yang dimaksudkan adalah rekonsiliasi ala Aceh berdasar kultur Melayu.
Peusaboh hate
Mengapa ajakan berdamai Zaini itu berbeda dengan konsep rekonsiliasi normatif? Karena rekonsiliasi in cognito adalah mekanisme pemulihan sosial atas pengalaman traumatik masa lalu terkait kejahatan kemanusiaan massif, sedangkan pernyataan tersebut bertujuan meredakan riak-riak konflik pasca-pilkada. Kalau kita benturkan dengan perspektif Hegelian, “maaf atau berdamai hanya mungkin untuk segala hal kecuali kejahatan atas jiwa” (all is forgivable except the crime against spirit). Tentu salah alamat jika dikonfrontasikan dengan maksud pernyataan mantan tokoh senior GAM itu.
Hal itu karena: Pertama, konsep hate menurut parole Aceh tidak setingkat dengan “jiwa” perspektif Hegel - yang kemudian diintroduksi Jacques Derrida. Kerusakan jiwa perspektif Hegelian merujuk pada akibat perang dahsyat yang merontokkan bangunan humanisme. Kedua, konsep rekonsiliasi secara umum menuntut adanya pencarian kebenaran atas masa lalu (truth seeking), sedangkan yang diinginkan tidaklah sekompleks itu. Dan ketiga, rekonsiliasi adalah kondisi pertemuan pelaku kejahatan (perpetrators) dan korban (victim) dengan level setara untuk memaafkan, melupakan, atau menghukum (that people would be incapable of forgiving what they cannot punish, and they would be incapable of punishing what reveals itself as unforgivable, Jacques Derrida, On Forgiveness, 2001).
Ada pun yang dimaksudkan di sini adalah peusaboh hate atau menyatukan hati dan pikiran para elite setelah kusut-masai pilkada. Namun paling tidak pernyataan itu merujuk bahwa pengalaman pilkada yang tidak sehat dan harus dilupakan demi masa depan Aceh. Atas dasar itulah, Zaini menginginkan teks pembangunan Aceh itu dimulai dari rekonsiliasi para elite, peusaboh hate rakyat Aceh peukong nanggroe.
Melalui permintaan maaf yang tulus ada kemungkinan mengubah hal-hal yang tak mungkin diubah (irreversible). Ia tentu tahu konsepsi kultural elite Aceh sebagai “ayam jago”. Jangankan kalah, seri pun tak pernah sudi. Dengan strategi sedikit surut, mungkin dapat melembutkan perasaan elite-elite yang kalah dalam pilkada lalu, dan akan menjadi kemenangan besar bagi politik Aceh.
Sebenarnya budaya terkoyak perasaan (teupeh hate) bukanlah khas Aceh. Dalam khazanah Melayu secara luas hal itu juga ditemukan. Saya memahami konsep itu melalui sebuah pantun sastrawan negara Malaysia, Dato’ Usman Awang, yang terukir indah di dinding perkantoran, dekat stasiun monorel Medan Tuanku, Kuala Lumpur. “Watak Melayu menolak permusuhan/setia dan sabar tiada sempadan/tapi jika marah tak tampak telinga/musuh dicari ke lobang cacing/tak dapat tanduk telinga dijinjing/maruah dan agama dihina jangan/hebat amuknya tak kenal lawan (Melayu).”
Kiranya tak beda kultur amuk Aceh dan Melayu secara umum. Kekalahan sering dianggap kesalahan dan itu merendahkan harga diri. Jika sampai pada situasi itu fatal akibatnya. Sikap Zaini yang rendah hati ini tepat untuk menghindari “amuk” dari pihak yang kalah, apalagi di tengah euforia kemenangan yang dirayakan berlebihan oleh partai pendukung. Ingat, jika sudah dikalahkan, apalagi disalahkan, dendam menyeruak sampai jauh. Lawan dianggap musuh, dikejar sampai ke liang kubur atau lubang cacing.
Upaya rekonsiliasi
Meskipun demikian, tidak berarti kultur Melayu pendendam. Melalui indah suara, hati panas elok didinginkan, kuncup maaf pun tersila di atas kepala. Peluang inilah yang harus dimanfaatkan melalui upaya rekonsiliasi. Dimulai dari elite meluncur ke akar rumput. Jangan lupa, pengalaman pilkada kali ini telah membuat banyak tetangga tak bertegur sapa, sesama saudara cemberut muka, salam dan tawa tak lagi terbuka.
“Berkelahi cara Melayu/menikam dengan pantun/menyanggah dengan senyum/marahnya dengan diam/merendah bukan menyembah/meninggi bukan melonjak.”
Saya cukup terkesan dengan pantun Melayu Dato’ Usman Awang ini. Meskipun tak pernah kenal pengarangnya, puisinya itu telah mendekatkan perasaan dan hati sebagai bagian keluarga besar Melayu. Apalagi di tengah pusaran konflik seperti saat ini.
“Melayu di Tanah Semenanjung luas maknanya/Jawa itu Melayu, Bugis itu Melayu/Banjar juga disebut Melayu/Minangkabau memang Melayu/keturunan Acheh adalah Melayu/Jakun dan Sakai asli Melayu/Arab dan Pakistani, semua Melayu/Mamak dan Malbari serap ke Melayu/malah, mualaf bertakrif Melayu/setelah disunat anunya itu.” Tentu saja puisi ini harus dilihat sebagai eksposisi metaforis dibandingkan rujukan sosio-antropologis. Tapi bagi saya, semua peradaban etnis utara dan selatan Asia yang bermigrasi ke Semenanjung Melayu akan menjadi Melayu. Dengan syarat bahasa dan agama Melayu (Islam) terinkulturasi dengan budaya migran.
Semoga Tgk dr Zaini Abdullah kuat menjadi pialang perdamaian dan bukan sekadar Gubernur Aceh. Dengan pengalaman dan kekuasaan di genggaman, kita tunggu “karpet rekonsiliasi” dibentangkan. Tanpa lupa pada akar Melayu yang berasal dari tanah Aceh dengan tokoh linguistik ikut membesarkannya, seperti Hamzah al-Fansury dan Samsuddin As-Sumatrany.
“Berdamai cara Melayu indah sekali/silaturahim hati yang murni/maaf diungkap senantiasa bersahut/tangan dihulur senantiasa disambut/luka pun tidak berparut.”
Pernyataan ini bukan tak berdasar. Telah terekam dalam sejarah Pilkada Aceh 2012, kualitas kampanye kali ini tidak seindah “puisi damai” yang sama-sama diikrarkan. Kualitas momen elektoral ini pun tidak sebaik sebelumnya. Ada banyak praktik dan kultur kekerasan bergesekan dengan model kampanye tidak simpatik. Aneka kekerasan tentu saja menyebabkan ada pihak yang tersayat perasaan (teupeh hate), dan tentu saja tak mudah dihilangkan.
Bagi saya, pernyataan gubernur terpilih itu sebagai penanda rekonsiliasi. Secara detil saya tak ingat kalimatnya, namun Zaini menggunakan kata islah, yang secara etimologis dapat pula diartikan berdamai atau berekonsiliasi; meskipun tak persis sama dengan terminologi rekonsiliasi secara konseptual. Mungkin yang dimaksudkan adalah rekonsiliasi ala Aceh berdasar kultur Melayu.
Peusaboh hate
Mengapa ajakan berdamai Zaini itu berbeda dengan konsep rekonsiliasi normatif? Karena rekonsiliasi in cognito adalah mekanisme pemulihan sosial atas pengalaman traumatik masa lalu terkait kejahatan kemanusiaan massif, sedangkan pernyataan tersebut bertujuan meredakan riak-riak konflik pasca-pilkada. Kalau kita benturkan dengan perspektif Hegelian, “maaf atau berdamai hanya mungkin untuk segala hal kecuali kejahatan atas jiwa” (all is forgivable except the crime against spirit). Tentu salah alamat jika dikonfrontasikan dengan maksud pernyataan mantan tokoh senior GAM itu.
Hal itu karena: Pertama, konsep hate menurut parole Aceh tidak setingkat dengan “jiwa” perspektif Hegel - yang kemudian diintroduksi Jacques Derrida. Kerusakan jiwa perspektif Hegelian merujuk pada akibat perang dahsyat yang merontokkan bangunan humanisme. Kedua, konsep rekonsiliasi secara umum menuntut adanya pencarian kebenaran atas masa lalu (truth seeking), sedangkan yang diinginkan tidaklah sekompleks itu. Dan ketiga, rekonsiliasi adalah kondisi pertemuan pelaku kejahatan (perpetrators) dan korban (victim) dengan level setara untuk memaafkan, melupakan, atau menghukum (that people would be incapable of forgiving what they cannot punish, and they would be incapable of punishing what reveals itself as unforgivable, Jacques Derrida, On Forgiveness, 2001).
Ada pun yang dimaksudkan di sini adalah peusaboh hate atau menyatukan hati dan pikiran para elite setelah kusut-masai pilkada. Namun paling tidak pernyataan itu merujuk bahwa pengalaman pilkada yang tidak sehat dan harus dilupakan demi masa depan Aceh. Atas dasar itulah, Zaini menginginkan teks pembangunan Aceh itu dimulai dari rekonsiliasi para elite, peusaboh hate rakyat Aceh peukong nanggroe.
Melalui permintaan maaf yang tulus ada kemungkinan mengubah hal-hal yang tak mungkin diubah (irreversible). Ia tentu tahu konsepsi kultural elite Aceh sebagai “ayam jago”. Jangankan kalah, seri pun tak pernah sudi. Dengan strategi sedikit surut, mungkin dapat melembutkan perasaan elite-elite yang kalah dalam pilkada lalu, dan akan menjadi kemenangan besar bagi politik Aceh.
Sebenarnya budaya terkoyak perasaan (teupeh hate) bukanlah khas Aceh. Dalam khazanah Melayu secara luas hal itu juga ditemukan. Saya memahami konsep itu melalui sebuah pantun sastrawan negara Malaysia, Dato’ Usman Awang, yang terukir indah di dinding perkantoran, dekat stasiun monorel Medan Tuanku, Kuala Lumpur. “Watak Melayu menolak permusuhan/setia dan sabar tiada sempadan/tapi jika marah tak tampak telinga/musuh dicari ke lobang cacing/tak dapat tanduk telinga dijinjing/maruah dan agama dihina jangan/hebat amuknya tak kenal lawan (Melayu).”
Kiranya tak beda kultur amuk Aceh dan Melayu secara umum. Kekalahan sering dianggap kesalahan dan itu merendahkan harga diri. Jika sampai pada situasi itu fatal akibatnya. Sikap Zaini yang rendah hati ini tepat untuk menghindari “amuk” dari pihak yang kalah, apalagi di tengah euforia kemenangan yang dirayakan berlebihan oleh partai pendukung. Ingat, jika sudah dikalahkan, apalagi disalahkan, dendam menyeruak sampai jauh. Lawan dianggap musuh, dikejar sampai ke liang kubur atau lubang cacing.
Upaya rekonsiliasi
Meskipun demikian, tidak berarti kultur Melayu pendendam. Melalui indah suara, hati panas elok didinginkan, kuncup maaf pun tersila di atas kepala. Peluang inilah yang harus dimanfaatkan melalui upaya rekonsiliasi. Dimulai dari elite meluncur ke akar rumput. Jangan lupa, pengalaman pilkada kali ini telah membuat banyak tetangga tak bertegur sapa, sesama saudara cemberut muka, salam dan tawa tak lagi terbuka.
“Berkelahi cara Melayu/menikam dengan pantun/menyanggah dengan senyum/marahnya dengan diam/merendah bukan menyembah/meninggi bukan melonjak.”
Saya cukup terkesan dengan pantun Melayu Dato’ Usman Awang ini. Meskipun tak pernah kenal pengarangnya, puisinya itu telah mendekatkan perasaan dan hati sebagai bagian keluarga besar Melayu. Apalagi di tengah pusaran konflik seperti saat ini.
“Melayu di Tanah Semenanjung luas maknanya/Jawa itu Melayu, Bugis itu Melayu/Banjar juga disebut Melayu/Minangkabau memang Melayu/keturunan Acheh adalah Melayu/Jakun dan Sakai asli Melayu/Arab dan Pakistani, semua Melayu/Mamak dan Malbari serap ke Melayu/malah, mualaf bertakrif Melayu/setelah disunat anunya itu.” Tentu saja puisi ini harus dilihat sebagai eksposisi metaforis dibandingkan rujukan sosio-antropologis. Tapi bagi saya, semua peradaban etnis utara dan selatan Asia yang bermigrasi ke Semenanjung Melayu akan menjadi Melayu. Dengan syarat bahasa dan agama Melayu (Islam) terinkulturasi dengan budaya migran.
Semoga Tgk dr Zaini Abdullah kuat menjadi pialang perdamaian dan bukan sekadar Gubernur Aceh. Dengan pengalaman dan kekuasaan di genggaman, kita tunggu “karpet rekonsiliasi” dibentangkan. Tanpa lupa pada akar Melayu yang berasal dari tanah Aceh dengan tokoh linguistik ikut membesarkannya, seperti Hamzah al-Fansury dan Samsuddin As-Sumatrany.
“Berdamai cara Melayu indah sekali/silaturahim hati yang murni/maaf diungkap senantiasa bersahut/tangan dihulur senantiasa disambut/luka pun tidak berparut.”
Penulis:
* Teuku Kemal Fasya, Antropolog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar